SURVEI DAN PENILAIAN BEBERAPA SIFAT
FISIK DAN KIMIA TANAH PADA LAHAN RAWA
PASANG SURUT DI TEPIAN LAHAN UHT Acacia
sp PADA AREAL PT.BAP SUNGAI BAUNG KABUPATEN OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
Latar Belakang
Rawa merupakan areal cekungan di dataran
rendah yang tergenang secara permanen hampir atau sepanjang tahun akibat
limpasan sumber air (sungai, danau, air laut) terutama di musim penghujan. Rawa
yang di pengaruhi pasang surutnya air laut disebut rawa pasang surut, sedangkan
yang tidak terpengaruh disebut rawa lebak (Soedibjo, 1978 dalam
Hanafiah, 1992).
Bentang kawasan lahan rawa
pasang surut itu di Sumatera Selatan meliputi luasan 1,9 juta hejtar, yaitu 18%
dari luas propinsi ini atau sekitar 15%
keseluruhan lahan pasang surut yang ada di kepulaan nusantara. Kawasan
lahan rawa lebak lebih sedikit adanya, yaitu sekitar 1,1 juta hektar ( 11% dari
luas propinsi) atau 4% dari lahan sejenis yang ada di negeri ini (Sjarkowi, 1989).
Lahan gambut dinilai tidak saja
marginal, tetapi juga fragile. Tingkat kesuburannya ditentukan oleh sifat fisik, kimia, dan kematanganya. Beberapa sifat dan prerilaku tanah gambut berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman (Soeprptohardjo dan Dreissen, 1976).
Menurut Jansen et al,. (1994), teknologi
penginderaan jauh (inderaja) sangat bermanfaat untuk
identifikasi dan inventarisasi sumberdaya alam dan penggunaan lahan gambut. Untuk identifikasi dan inventarisasi lahan rawa gambut, beberapa kriteria
yang dapat dipakai antara lain : jenis vegetasi, penggunaan lahan (existing
landuse), topografi/relief dan kondisi drainase/ genangan air. Teknologi
inderaja cocok untuk diterapkan di negara kepulauan seperti Indonesia, dimana
banyak pulau-pulaunya yang letaknya terpencil dan sulit dijangkau. Citra
satelit mampu mempertinggi kehandalan dan efisiensi pengumpulan data/ informasi
wilayah rawa (gambut) dan lingkungannya (Lillesand and Keifer, 1994). Namun demikian tetap harus disertai adanya pengecekan atau pengamatan
lapang.
Karakteristik pohon akasia pada umumnya
selalu hijau, tingginya dapat mencapai 30 m apabila tumbuh pada
tanah yang subur kecuali apabila akasia tumbuh pada tempat yang kurang subur
maka akasia tumbuh lebih kecil antara 7 m samapai 10 m. Akasia merupakan jenis
unggulan dalam pembangunan hutan tanaman industri di Indonesia dari 2,5 juta
hektar hutan tanaman yang ada di Indonesia, lebih dari 1 juta hektar adalah
hutan tanaman akasia (Arisman, 2005).
Lahan rawa
pasang-surut dan lebak di areal PT.
Bumi Andalas Permai (seluas 8.905 ha) merupakan areal yang relatif datar
sehingga didominasi oleh 4 jenis tanah utama, yaitu Histosol (tanah gambut),
Aluvial (tanah mineral endapan sungai), Tanah Sulfat Masam (tanah mineral
endapan laut) dan Tanah Salin (tanah mineral kaya garam) yang setara dengan
Inceptisol (jika sudah mulai berkembang) dan Entisol (jika belum berkembang).
Tanah di areal ini relatif homogen dengan hamparan yang cukup luas. Lahan PT.
Bumi Andalas Permai didominasi oleh tanaman akasia, oleh karena itu perlu
adanya survey analisis lahan sehingga dapat mengontrol pertumbuhan dan
perkembangan dari lahan perkebunan tersebut. Survai yang akan dilakukan cukup
pada skala Tinjau (satu titik boring per 25 – 50 ha dengan satu sampel (1-2 lapisan) per 1 – 2,5 km2 (100
– 250 ha) dan 1 profil (4 lapisan) per 1.000 – 2.500 ha untuk menghasilkan peta
berskala 1:100.000.
Tujuan
Praktik lapangan ini bertujuan untuk
menilai beberapa sifat fisik tanah rawa pasang surut, antara lain tekstur
lapangan, struktur lapangan, warna, kedalaman efektif dan sifat kimia yang
berupa pH lapangan, tingkat kematangan gambut, kedalaman pirit di lapangan pada
tepian lahan UHT Acacia.sp pada areal PT.BAP Sungai Baung
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sifat Fisik Tanah
Pengertian tanah secara umum adalah tumbuh alam yang terbentuk dan
berkembang sebagai akibat bekerjanya gaya-gaya di permukaan bumi. Tumbuh alam
ini dapat berdiferensasi membentuk horizon-horizon mineral maupun organic yang
kedalamannya beragam dan berbeda-beda sifatnya dari bahan induk yang terletak
di bawahnya dalam hal morfologi, komposisi kimia, sifat-sifat fisik maupun
kehidupan biologisnya (Hakim et al., 1986).
Fungsi
pertama tanah sebagai media tumbuh adalah sebagai tempat akar mencari ruang
untuk berpenetrasi, baik secara lateral atau horizontal maupun secara vertikal.
Kemudahan tanah untuk di penetrasi ini tergantung pada ruang pori-pori yang
yang terbentuk diantara partikel-partikel tanah (tekstur dan struktur)
sedangkan stabilitas ukuran ruang ini tergantung pada konsistensi tanah
terhadap pengaruh tekanan. Kerapatan porositas tersebut menentukan kemudahan
air untuk bersirkulasi dengan udara (drainase dan aerasi). Sifat fisik lain
yang penting adalah warna dan suhu tanah. Warna mencerminkan jenis mineral
penyusun tanah, reaksi kimiawi, intensitas pelindian dan akumulasi bahan-bahan
yang terjadi, sedangkan suhu merupakan indikator energi matahari yang diserap
oleh bahan-bahan penyusun tanah (Hanafiah, 2005).
Beberapa
sifat fisik tanah yang penting adalah tekstur, struktur, warna, dan kedalaman
efektif sebagai berikut:
1. Tekstur
Tekstur
tanah adalah perbandingan relatif fraksi-fraksi pasir, debu, liat yang
dinyatakan dalam persen (%). Tekstur tanah sangat penting untuk diketahui, oleh
karena itu komposisiketiga fraksi-fraksi butir-butir tanah tersebut akan
menentukan sifat fisika, fisika-kimia, kimia tanah. Sebagai contoh besarnya di
lapangan, pertukaran ion-ion dalam tanah sangat ditentukan oleh tekstur tanah.
Adapun pengertian tanah itu sendiri adalah lapisan permukaan bumi yang secara
fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran, penompang
tegaknya tanaman serta media menyuplai kebutuhan nutrisi hara bagi tanaman
(Hakim et al., 1886).
Tekstur
tanah merupakan sifat yang hampir tidak berubah. Perubahan tekstur dalam lapisan tanah mungkin
terjadi karena perpindahan atau berkembangnya lapisan permukaan baru. Karena
sifatnya yang relatif tetap dalam jangka waktu tertentu, maka tekstur tanah sudah
lama menjadi dasar klasifikasi fisika tanah. Tekstur tanah menunjukkan
komposisi partikel penyusun tanah (separat) yang dinyatakan dengan perbandingan
proporsi relatif antara fraksi pasir (berdiameter 2,00 – 0,20 mm), debu
(berdiameter 0,20-0,0002 mm), dan liat (berdiameter < 2 μm). Partikel yang
berukuran diatas 2 mm seperti krikil dan bebatuan kecil tidak tergolong sebagai
fraksi tanah. Tekstur tanah dibagi menjadi 12 kelas tekstur yaitu : pasir,
pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung liat berpasir, lempung
liat berdebu, lempung berliat, lempung berdebu, debu, liat berpasir, liat
berdebu, liat (Hanafiah, 2005).
2. Struktur
Struktur
tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil alami dari tanah, akibat melekatnya
butir-butir primer tanah satu sama lain. Satu unit struktur disebut Ped
(terbentuk karena prose salami). Clod juga merupakan unit gumpalan tanah,
tetapi terbentuknya bukan karena proses alami, misalnya karena
pencangkulan, tusukan pisau dan lain-lain (Hardjowigeno, 1993).
Struktur
tanah berfungsi memodifikasi pengaruh tekstur terhadap kondisi drainase atau
aerasi tanah, karena susunan antar ped atau agregat tanah akan menghasilkan
ruang yang lebih besar ketimbang susunan antar partikel primer. Oleh karena itu
tanah yang berstruktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan aerasi yang
baik pula, sehingga lebih memudahkan sistem perakaran tanaman yang berpenetrasi
dan mengabsorpsi (menyerap) hara dan air, sehingga pertumbuhan dan produksi
menjadi lebih baik (Hanafiah, 2005).
Susunan dan organisasi partikel-partikel
pada tanah disebut setruktur tanah. Karena partikel tanah berbeda dalam hal
bentuk, ukuran dan orientasinya, bisa berhubungan atau
mengumpul dengan beberapa cara, massa partikel-partikel ini bisa membentuk
konfigurasi yang tidak teratur, yang kadang sulit atau bahkan tidak mungkin untuk mencirikan tanah tersebut dalam geometri yang pasti. Kerumitan lain
adalah sifat bawaan yang tidak setabil serta selalu berubah bergantung waktu
dan ketidak seragaman dalam ruang. Struktur tanah sangat di pengaruhi oleh
perubahan iklim, aktivitas biologi, dan praktik pengelolaan tanahserta sangat
peka terhadap gaya-gaya perusak mekanis (Susanto dan Purnomo, 1996).
3. Warna
Warna
merupakan salah satu sifat fisik tanah yang lebih banyak di gunakan untuk
pendeskripsian karakter tanah, karenan tidak mempunyai efek langsung terhadap
tanaman tetapi secara tidak langsung berpengaruh lewat dampaknya terhadap
temperatur dan kelembapan tanah. Warna tanah merupakan komposit (campuran) dari
warna-warna komponen-komponen penyusunnya. Efek komponen-komponen warna
komposit ini secara langsung proposional terhadapa total permukaan tanah yang
setara dengan luas permukaan spesifik dikali proporsi volumetrik
masing-masingnya terhadap tanah, yang bermakna materi kloidal mempunyai dampak
terbesar dalam perubahan warna tanah (Hanafiah, 2005).
Warna
tanah merupakan petunjuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah di pengaruhi
oleh beberapa faktor yang terdapat dalam warna tanah tersebut. penyebab
perbedaan warna permukaan tanah umumnya oleh perbedaan kandungan bahan organik.
Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Warna tanah di tentukan
dengan menggunakan warna-warna baku yang terdapat dalam buku Munsell Soil
Colour Chat. Dalam warna baku ini, warna disusun oleh tiga variable yaitu hue,
value, chroma. Hue adalah warna spektrum yang dominan sesuai dengan panjang
gelombangnya. Value menunjukkan gelap terangnya warna, sesuai dengan banyaknya
sinar yang dipantulkan. Chroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna
spektrum (Hardjowigeno, 1993).
4. Kedalaman Efektif
Kedalaman
efektif suatu profil merupakan kedalaman maksimum yang dapat di tembus akar.
Kedalaman ini ditentukan oleh adanya batasan horizon yang mencegah atau
menghalangi penetrasi akar kebawah (Young, 1976).
Menurut Hardjowigeno (1993),
kedalaman efektif adalah kedalaman sampai krikil, padas, dan plinthit, yang di
kelompokkan sebagai berikut:
K0 = dalam : > 90 cm
K1 = sedang :
90 - 50 cm
K2 = dangkal :
50 - 25 cm
K3 = sangat
dangkal : < 25 cm
Banyak akar tergantung pada banyaknya kandungan air,
udara dan zat hara tanaman dalam horizon tanah. Jika tanah kekurangan air (kekeringan) maka akar
tanaman akan sulit menyerap mineral dan tanah. Sebab dengan adanya air, unsur - unsur hara dapat
larut dan tersedia bagi tanaman (Risza, 1994).
B. Sifat Kimia Tanah
1. pH Tanah
Nilai
pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena
dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Ketersediaan
unsur-unsur hara dalam tanah pada kondisi reaksi asam-basa (pH). Setiap tanaman
memerlukan jumlah hara dalam komposisi yang berbeda-beda, pengetahuan tentang
pengaruh pH terhadap pola ketersediaan hara tanah dapat di gunakan sebagai
acuan dalam pemilihan tanaman yang sesuai pada suatu jenis tanah (Hanafiah,
2005).
Larutan tanah merupakan air tanah yang mengandung
ion terlarut yang diperlukan oleh tanaman. Konsentrasi ion terlarut ini sangat
beragam dan tergantung dari jumlah ion terlarut serta jumlah bahan terlarut.
Dalam keadaan kering dimana air banyak menguap maka konsentrasi garam akan
meningkat, sebaliknya dalam keadaan banyak air konsentrasi garam akan berubah
secara drastis. Sifat reaksi kimia tanah adalah masam, netral dan basa.
pernyataan ini didasarkan oleh jumlah ion H+ dan OH- didalam
larutan tanah. Bila di dalam tanah ditemukan ion H+ lebih banyak
daripada ion OH- maka tanah tersebut dikategorikan sebagai tanah
masam, begitupula sebaliknya (Donahue et al.,1977).
pH
merupakan perbandingan larutan dalam tanah. Pada penetapan pH ada perbedaan
suspensi untuk mengukur pH, kita dapat menggunakan alat yang disebut pH meter
atau juga menggunakan dengan kertas lakmus. Tanaman pertanian mempunyai respon yang berbeda
terhadap pH, kebanyakan tanaman tumbuh baik pada tanah dengan pH
6 – 6,5 (Poerwowidodo.
1992).
Tanah
dilingkungan tropika basah pada umumnya bersifat masam dan merupakan sebagai
ciri khas sebagian besar wilayah di Indonesia. Tanah seperti ini tersebar dibeberapa daerah
diluar pulau Jawa, seperti Sumatra dan Kalimantan. Di Sumatra terdapat sekitar
21 juta ha, Kalimantan 15,5 juta ha, dan jawa 2 juta ha, atau sekitar 29% dari
total wilayah Indonesia. Tanah-tanah tersebut didominasi oleh tanah
0xisol dan ultisol yang dicirikan oleh kandungan bahan organik yang rendah, jerapan
P yang tinggi, kandungan Nitrogen yang rendah, Kapasitas Tukar
Kation (KTK) yang rendah, serta keracunan Alumunium dibagian lapisan bawah (Buckman dan Brady, 1982).
2. Tingkat Kematangan
Gambut
Menurut Hardjowigeno
(1993) gambut adalah
tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 30 %, sedangkan lahan gambut adalah lahan yang
ketebalan gambutnya lebih dari 50 cm. Lahan yang
ketebalan gambutnya kurang daripada 50 cm disebut lahan bergambut. Gambut terbentuk
dari hasil dekomposisi bahan2 organik seperti dedaunan, ranting serta semak
belukar yang berlangsung dalam kecepatan yang lambat dan dalam keadaan anaerob.
Berdasarkan ketebalannya,
gambut dibedakan menjadi empat tipe :
- Gambut Dangkal, dengan ketebalan 0.5 – 1.0 m
- Gambut Sedang, memiliki ketebalan 1.0 – 2.0 m
- Gambut Dalam, dengan ketebalan 2.0 – 3.0 m
4.
Gambut Sangat Dalam, yang
memiliki ketebalan melebihi 3.0 m
Selanjutnya berdasarkan kematangannya, gambut dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu
- Fibrik, digolongkan demikian apabila bahan vegetatif aslinya masih dapat diidentifikasikan atau telah sedikit mengalami dekomposisi
- Hemik, disebut demikian apabila tingkat dekomposisinya sedang
- Saprik, merupakan penggolongan terakhir yang apabila telah mengalami tingkat dekomposisi lanjut.
Tanah Gambut secara umumnya memiliki kadar pH yang
rendah, memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi, kejenuhan basa rendah,
memiliki kandungan unsur K, Ca, Mg, P yang rendah dan juga memiliki kandungan
unsur mikro (seperti Cu, Zn, Mn serta B) yang rendah pula
C. Rawa Pasang Surut
Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai
20,10 juta ha pada awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara sungai
besar, yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas laut. Di bagian agak ke
pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki
lingkungan air asin (salin) dan air payau. Dengan adanya proses sedimentasi,
kini wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yang merupakan bagian dari delta
sungai. Wilayah tersebut terletak relatif agak jauh dari garis pantai sehingga
kurang terjangkau secara langsung olehair laut waktu pasang. Oleh karena itu,
wilayah tersebut saat ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas sungai di samping
pasang surut harian dari laut. Di wilayah pasang surut terdapat dua jenis tanah
utama, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh air dan tanah gambut (peat
soils) (Sutanto, 1998).
Beradasarkan tinggi rendahnya luapan air pasang, lahan
rawa dibagi menjadi empat tipe luapan yaitu tipe A, B, C, dan D. Ketinggian
pasang tergantung pada musim, tipe luapan wilayah dan posisi dari sungai atau
saluran. Lahan tipe A teluapi minimum 4 sampai 5 kali per siklus pasang purnama
baik musim hujan maupun musim kemarau. Lahan tipe B terluapi minimum 4 sampai 5
kali per siklus pasang purnama hanya pada musim hujan saja. Lahan tipe C dan D
tidak dapat terluapi pasang baik pasang musim hujan maupun pasang musim kemaru,
tetapi pada lahan kategori C muka air tanahnya masih dipengaruhi oleh pasang
surut sedangkan lahan tipe D tidak dipengaruhi (Engelstad,1997).
D. Akasia
Klasifikasi Akasia menurut
Tjiptrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Acacia
Spesies : Acacia sp
Di Indonesia sejak
dicanangkan pembangunan HTI pada tahun 1984, kayu akasia telah dipilih sebagai
salah satu jenis favorit untuk ditanam di areal HTI. Pada mulanya jenis ini
dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kayu HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu serat
terutama untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Dengan adanya
perubahan-perubahan kondisional baik yang menyangkut kapasitas industri maupun
adanya desakan kebutuhan kayu tidak tertutup kemungkinan terjadi perluasan tujuan penggunaan kayu
akasia, yaitu untuk bahan perekat, kayu serat, kayu pertukangan maupun kayu
energi (bahan bakar & arang) untuk finir, serta perabot rumah yang menarik
seperti lemari, kusen pintu, dan jendela (Arisman, 2005).
Akasia menyebar
alami di Queensland utara Australia, Papua New Guinea hingga propinsi Papua dan
Maluku. Akasia termasuk jenis yang cepat tumbuh, pohonnya berumur pendek (30-50
tahun) dapat beradaptasi terhadap tanah asam dengan pH (4.5 - 6.5). Pohon
akasia tidak toleran terhadap musim dingin dan naungan. Akasia dapat tumbuh
dengan baik pada tanah subur yang baik drainasenya, dan dapat juga tumbuh pada
lahan yang miskin hara, berbatu dan tanah yang mengalami erosi, bahkan yang
jelek drainasenya. Akasia tidak memiliki persyaratan tumbuh yang tinggi,
tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian antara 30 - 130 mdpl, dengan curah
hujan bervariasi antara 1.000 mm - 4.500 mm setiap tahunnya. Tanaman ini
merupakan jenis pionir yang cepat tumbuh dan memiliki daun yang lebar. Untuk
mendukung pertumbuhannya akasia sangat membutuhkan sinar matahari, apabila
mendapatkan naungan pertumbuhannya kurang sempurna hal ini dapat mengakibatkan
bentuk batang menjadi tinggi dan kurus (Kurniawan, 2008).
Karakteristik pohon
akasia pada umumnya selalu hijau, tingginya dapat mencapai 30 m apabila tumbuh
pada tanah yang subur kecuali apabila akasia tumbuh pada tempat yang kurang subur
maka akasia tumbuh lebih kecil antara 7-10 m. Pohon akasia kadang - kadang
memiliki bentuk silindris pada batang bagian bawah dan diameternya dapat
mencapai ± 50 cm. Pohon akasia yang tua biasanya berkayu keras, kasar, beralur longitudinal dan warnanya
bervariasi mulai dari cokelat gelap sampai cokelat terang. Pada umumnya kulit akasia kasar dan
beralur, memiliki warna abu-abu atau coklat, rantingnya kecil seperti sayap dan
daunnya besar, panjangnya mencapai 25 cm, lebar 3-10 cm berwarna hijau gelap, bunganya
berganda dan memiliki warna putih atau kekuningan, panjangnya mencapai 10 cm
dan bentuknya tunggal atau berpasangan di sudut daun pucuk (Lee, 2002).
PELAKSANAAN PRAKTIK LAPANGAN
A. Tempat dan Waktu
Praktik lapangan ini dilaksanakan di
tepian lahan UHT akasia PT. Bumi Andalas Permai (BAP) Sungai Baung Kabupaten
Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Praktik lapangan ini berlangsung dari
November 2010 sampai Desember 2010.
B. Bahan dan Alat
Bahan
yang digunakan dalam praktik lapangan ini adalah 1) kantong plastik,
2) kertas label, 3) peroksida, dan 4) kertas lakmus.
Peralatan
yang di gunakan untuk peraktik lapangan ini adalah peta dasar lokasi praktik
lapangan, 2) meteran, 3) Munsell Soil Coloul Cart, 4) Bor Belgie, 5) Bor
Gambut, 6) GPS, 7) Pisau lapangan, dan 9) Peralatan lainnya.
C. Metode Praktik Lapangan
Survai dilakukan pada
skala tinjau mendalam (semi detail) dengan pola penyebaran dan batas wilayah
ditentukan berdasarkan survai pendahuluan selaras peta-peta dasar yang tersedia (1:100.000).
Pada survai utama,
boring dilakukan per 25 – 100 ha (rata-rata per 50 ha) dan sampel tanah diambil
secara komposit pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm pada setiap 200 – 500 ha (1
– 2,5 km2) (rata-rata per 325 ha), sedangkan profil gali ada 50
(sampel 20 x 4 lapisan) dengan sistim jalur (jarak antar jalur 1 – 2,5
km). Dengan distribusi boring, sampel
tanah atas (topsoil) dan sampel lapisan profil tertera sebagai berikut:
Tabel 1. Distribusi
titik pengamatan dan sampel tanah, serta perkiraan waktu
No.
|
Distrik
|
Luas (ha)
|
Titik boring
|
Titik Sampling Tanah atas
(2 lapisan)
|
Profil
(4 lapisan)
|
Waktu
(hari)
|
Sungai
baung,
|
800
|
40
|
3
|
2
|
6
|
Faktor pembatas yang menjadi kreteria penilaian
dalam praktik lapangan ini adalah tekstur lapangan, steruktur lapangan, Warna,
pH lapangan, kedalaman efektif dan tingkat kematangan gambut.
D. Cara Kerja
1. Sebelum Pekerjaan
Lapangan
Kegiatan
yang dilakukan pada tahap ini adalah studi pustaka. pengadaan peta, pengumpulan
data dan informasi daerah praktik lapangan serta penentuan titik pengeboran.
2. Pekerjaan
Lapangan
Pada
tahap ini terdiri dari dua kegiatan yaitu survei pendahuluan dan survei utama.
Survei pendahuluan bersifat orientasi atau penjajakan yang meliputi kegiatan
sebagai berikit:
- Penjajakan daerah survei untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi lapangan.
- Melakukan pengamatan penggunaan lahan dan kondisi lingkungan berdasarkan peta dasar yang tersedia.
Pada
waktu melakukan survai utama kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut:
- Pengamatan vegetasi, mempersiapkan dan memberikan tanda pada setiap daerah yang akan dilakukan pengamatan dan pengeboran.
- Pengeboran sebanyak 40 titik dengan kedalaman 120 cm sekaligus penentuan tekstur dengan metode perasa, struktur di lapangan, kedalaman efektif, pengamatan warna, pH, serta pengamatan kedalaman gambut.
3. Setelah Pekerjaan
Lapangan
Pekerjaan
yang dilakukan pada tahap ini:
- Pengolahan data sekunder berupa iklim, cuaca, penutup lahan dan vegetasi disekitar lahan perkebunan akasia
- Penyusunan rekomendasi penilaian sifat fisik tanah
- Penyusunan laporan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Lokasi Praktik Lapangan
Lokasi areal PT. Bumi Andalas
Permai seluas ± 184.585 terbagi dalam dua unit, yaitu Unit satu seluas 145.262
hektar dan Unit dua seluas 39.323 hektar, yang seluruhnya termasuk dalam
kelompok hutan S. Simpang Heran – S. Beyuku II. Sebagian besar areal merupakan
lahan basah berupa lahan gambut bekas terbakar. Berdasarkan daerah aliran
sungai (DAS) kedua unit areal tersebut berada pada DAS Sugihan, SubDAS Riding,
SubDAS Lumpur dan SubDAS Lebong Hitam. Secara administrasi pemerintahan, areal
tersebut berada di wilayah Kecamatan Air Sugihan dan Tulung Selapan, Kabupaten
Ogan Komering Ilir (OKI), Propinsi Sumatra Selatan, sedangkan menurut wilayah
kelompok hutannya termasuk KPH / CDK wilayah Timur Tulung Selapan, Dinas
Kehutanan Kabupaten OKI, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatra Selatan.
B.
Batas Areal Praktik
Lapangan
Secara geografis, letak Kedua unit areal PT. Bumi Andalas
Permai adalah sebagai berikut :
Unit I : 1050 12’ BT – 1050
36’ BT
20 33’ LS – 20 55’ LS
Unit II : 1050 51’ BT – 1060
01’ BT
30 01’ LS – 30 18’ LS
Batas-batas administrasi areal PT. Bumi Andalas
Permai adalah sebagai berikut :
Unit I :
- Sebelah Utara:
Hutan Produksi Kelompok Hutan S.
Simpang Heran - S. beyuku
- Sebelah
Selatan: Kelompok Hutan S. Simpang
Heran – S. beyuku I/ HPH PT. SBA Wood Industries
-
Sebelah Timur: S. Sugihan
-
Sebelah Barat: HL S. Mesuji – S.
Lumpur
Unit II :
- Sebelah Utara :
HL S. Mesuji – S. Lumpur
- Sebelah Selatan :
S. Riding/Kuala Dua Belas
-
Sebelah Timur : Hutan
Mangrove/ Selat Bangka
- Sebelah Barat
: HPH PT. SBA Wood Industries
C.
data pengamatan lapangan
1.
Data Pengamatan
lapangan Distrik S. baung Transek 1
Tabel 2. Pengamatan Lapangan
Koordinat, Vegetasi, Tekstur Distrik S. baung Transek 1
Titik
|
Koordinat
|
tekstur
|
vegetasi
|
||||
Sampel
|
X
|
Y
|
lap I
|
lap II
|
lap III
|
lap IV
|
dominan
|
Titik 1
|
531568
|
9697248
|
lempung berdebu
|
lempung berliat
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 2
|
531745
|
9697408
|
lempung berpasir
|
lempung berliat
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 3
|
531998
|
9697456
|
lempung berpasir
|
lempung berdebu
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 4
|
532231
|
9697434
|
lempung berpasir
|
lempung berdebu
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 5
|
532496
|
9697464
|
lempung berpasir
|
Liat berdebu
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 6
|
532743
|
9697431
|
lempung berdebu
|
lempung liat berdebu
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 7
|
533067
|
9697442
|
lempung berdebu
|
lempung liat berdebu
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 8
|
533305
|
9697310
|
lempung berdebu
|
lempung berliat
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 9
|
533649
|
9697420
|
lempung berdebu
|
lempung berliat
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 10
|
533942
|
9697433
|
lempung berpasir
|
liat berpasir
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 11
|
534236
|
9697456
|
lempung berpasir
|
liat berpasir
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 12
|
534442
|
9697445
|
lempung berdebu
|
lempung berdebu
|
lempung berliat
|
-
|
Blidang
|
Titik 13
|
534668
|
9697450
|
lempung berdebu
|
lempung berdebu
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 14
|
534905
|
9697437
|
-
|
lempung berliat
|
Lempung berliat
|
-
|
Blidang
|
Titik 15
|
535134
|
9697464
|
-
|
Liat
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 16
|
535354
|
9697462
|
-
|
lempung berliat
|
Lempung berliat
|
-
|
Blidang
|
Titik 17
|
535568
|
9697464
|
-
|
Liat
|
Lempung berliat
|
-
|
Blidang
|
Titik 18
|
535871
|
9697468
|
-
|
Liat
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 19
|
536092
|
9697477
|
-
|
lempung berliat
|
liat
|
-
|
Blidang
|
Titik 20
|
536313
|
9697467
|
-
|
-
|
liat
|
-
|
Pakis
|
Titik 21
|
536529
|
9697469
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 22
|
536738
|
9697461
|
-
|
-
|
liat
|
-
|
Pakis
|
Titik 23
|
536947
|
9697465
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 24
|
537142
|
9697467
|
-
|
-
|
liat
|
-
|
Pakis
|
Titik 25
|
537348
|
9697465
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 26
|
537557
|
9697469
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 27
|
537760
|
9697461
|
-
|
-
|
liat
|
-
|
Pakis
|
Titik 28
|
537968
|
9697472
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 29
|
538173
|
9697478
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 30
|
538379
|
9697472
|
-
|
-
|
liat
|
-
|
Pakis
|
Titik 31
|
538569
|
9697478
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 32
|
538772
|
9697469
|
-
|
-
|
liat
|
-
|
Pakis
|
Titik 33
|
538981
|
9697462
|
-
|
-
|
liat
|
-
|
Pakis
|
Titik 34
|
539179
|
9697464
|
-
|
-
|
liat
|
-
|
Pakis
|
Titik 35
|
539380
|
9697467
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 36
|
539578
|
9697467
|
-
|
-
|
lempung berliat
|
-
|
Pakis
|
Titik 37
|
539771
|
9697470
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pakis
|
Titik 38
|
539968
|
9697469
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pakis
|
Titik 39
|
541067
|
9697470
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pakis
|
Titik 40
|
541270
|
9697474
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pakis
|
Berdasarkan dari hasil yang didapat, maka daerah
rawa tempat praktik lapangan ini didominasi oleh vegetasi blidang dan pakis-pakisan.
Hal ini disebabkan karena daerah rawa lebak dengan karakteristiknya seperti
memiliki pH masam (4,0) memungkinkan vegetasi seperti blidang dan pakis-pakisan
dapat tumbuh dengan baik.
Dari hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa pada
lapisan I dari titik 1 – 12 di dominasi oleh tekstur lempung berdebu dan
lempung berpasir, sedangkan untuk titik 13 – 40 tidak memiliki tekstur tanah,
ini disebabkan oleh kandungan bahan organik yang tinggi sehingga di golongkan
kedalam tanah gambut.
Sedangkan pada lapisan II
dapat dilihat bahwa tekstur tanah dari titik 1 – 19 di dominasi oleh tekstur
lempung berdebu, lempung berliat, liat, liat berdebu hal ini disebabkan mulai
melambatnya drainase pada lapisan tersebut, sehingga tanah cendrung lebih
terang, sedangkan dari titik 20 – 40 merupakan tanah gambut.
Pada lapisan III tekstur tanah
di dominasi oleh liat dan lempung
berliat. Pada lapisan ini merepakan lapisan kedalaman efektif, karena pada
lapisan ini ruang pori semakin mengecil sehingga akar tanaman sulit untuk masuk
kedalam tanah, biasanya warna yang terkandung pada lapisan ini cinderung lebih
terang di bandingkan lapisan diatasnya. pada lapisan III ini didapat kandungan
gambut yaitu pada titik 37-.40.
Umumnya daerah rawa memiliki
lapisan seperti lapisan tanah organik dan lapisan tanah mineral. Lapisan tanah
organik seperti organosol (gambut) tidak mempunyai tekstur karena terbentuk
dari pelapukan jaringan-jaringan organisme seperti sisa-sisa tumbuhan (ranting,
dedaunan, batang dan serasah) yang terdekomposisi menurut reaksi-reaksi
biokimia, sehingga tidak ada komponen tekstur (pasir, liat dan debu) yang
terbentuk. Sedangkan pada tanah-tanah mineral mempunyai tekstur, karena tanah
mineral membentuk partikel-partikel tanah yang disusun oleh butir-butir tunggal
sehingga membentuk suatu agregat tanah utuh yang diikat oleh bahan organik dan
zat-zat kimia lainnya.
Tabel
3. pengamatan lapangan
kedalaman lapisan, pH tanah Distrik S. baung Transek 1
Titik
|
kedalaman lapisan
|
pH lapangan
|
|||
Sampel
|
Lapisan I
|
lapisan II
|
lapisan III
|
lapisan IV
|
|
Titik 1
|
0 - 30 cm
|
30 - 60 cm
|
> 60 cm
|
-
|
4
|
Titik 2
|
0 - 20 cm
|
20 - 60 cm
|
> 60 cm
|
-
|
4
|
Titik 3
|
0 - 35 cm
|
35 - 60 cm
|
> 60 cm
|
-
|
4
|
Titik 4
|
0 - 30 cm
|
30 - 50 cm
|
> 50 cm
|
-
|
4
|
Titik 5
|
0 - 30 cm
|
30 – 50 cm
|
> 50 cm
|
-
|
4
|
Titik 6
|
0 - 30 cm
|
30 - 70 cm
|
> 70 cm
|
-
|
4
|
Titik 7
|
0 - 30 cm
|
30 - 60 cm
|
> 60 cm
|
-
|
4
|
Titik 8
|
0 - 35 cm
|
35 - 65 cm
|
> 65 cm
|
-
|
4
|
Titik 9
|
0 - 30 cm
|
30 - 60 cm
|
> 60 cm
|
-
|
4
|
Titik 10
|
0 - 7 cm
|
7 - 12 cm
|
> 12 cm
|
-
|
4
|
Titik 11
|
0 - 10 cm
|
10 - 30 cm
|
> 30 cm
|
-
|
4
|
Titik 12
|
0 - 10 cm
|
10 - 20 cm
|
> 20 cm
|
-
|
4
|
Titik 13
|
0 - 20 cm
|
20 - 50 cm
|
> 50 cm
|
-
|
4
|
Titik 14
|
0 - 55 cm
|
55 – 75 cm
|
> 75 cm
|
-
|
4
|
Titik 15
|
0 - 58 cm
|
58 – 70 cm
|
> 70 cm
|
-
|
4
|
Titik 16
|
0 - 60 cm
|
60 – 85 cm
|
> 85 cm
|
-
|
4
|
Titik 17
|
0 - 60 cm
|
60 – 85 cm
|
> 85 cm
|
-
|
4
|
Titik 18
|
0 - 65 cm
|
65 – 85 cm
|
> 85 cm
|
-
|
4
|
Titik 19
|
0 - 67 cm
|
67 – 92 cm
|
> 92 cm
|
-
|
4
|
Titik 20
|
0 - 65 cm
|
60 – 90 cm
|
> 90 cm
|
-
|
4
|
Titik 21
|
0 - 70 cm
|
70 – 102 cm
|
> 102 cm
|
-
|
4
|
Titik 22
|
0 - 67 cm
|
67 – 110 cm
|
> 110 cm
|
-
|
4
|
Titik 23
|
0 - 73 cm
|
73 – 119 cm
|
> 119 cm
|
-
|
4
|
Titik 24
|
0 - 76 cm
|
76 – 180 cm
|
> 180 cm
|
-
|
4
|
Titik 25
|
0 - 75 cm
|
75 – 203 cm
|
> 203 cm
|
-
|
4
|
Titik 26
|
0 - 80 cm
|
80 - 280 cm
|
> 280 cm
|
-
|
4
|
Titik 27
|
0 - 70 cm
|
70 - 260 cm
|
> 260 cm
|
-
|
4
|
Titik 28
|
0 - 80 cm
|
80 - 250 cm
|
> 250 cm
|
-
|
4
|
Titik 29
|
0 - 90 cm
|
90 - 210 cm
|
> 210 cm
|
-
|
4
|
Titik 30
|
0 - 90 cm
|
90 - 260 cm
|
> 260 cm
|
-
|
4
|
Titik 31
|
0 - 90 cm
|
90 - 250 cm
|
> 250 cm
|
-
|
4
|
Titik 32
|
0
- 100 cm
|
100 - 290 cm
|
> 290 cm
|
-
|
4
|
Titik 33
|
0 - 90 cm
|
90 - 250 cm
|
> 250 cm
|
-
|
4
|
Titik 34
|
0 - 90 cm
|
90 - 250 cm
|
> 250 cm
|
-
|
4
|
Titik 35
|
0
- 100 cm
|
100 - 280 cm
|
> 280 cm
|
-
|
4
|
Titik 36
|
0 - 100 cm
|
100 - 290 cm
|
> 290 cm
|
-
|
4
|
Titik 37
|
0 - 80 cm
|
80 - 270 cm
|
> 270 cm
|
-
|
4
|
Titik 38
|
0 - 90 cm
|
90 - 290 cm
|
> 290 cm
|
-
|
4
|
Titik 39
|
0 - 80 cm
|
80 - 290 cm
|
> 290 cm
|
-
|
4
|
Titik 40
|
0 - 80 cm
|
80 - 280 cm
|
> 280 cm
|
-
|
4
|
Pada penetapan pH ada perbedaan suspensi untuk mengukur
pH, kita dapat menggunakan alat yang disebut pH meter atau juga menggunakan
dengan kertas lakmus.,
tanaman pertanian mempunyai respon yang berbeda terhadap pH. Kebanyakan tanaman
tumbuh baik pada tanah dengan pH 6 – 6,5. Reaksi tanah dapat digunakan untuk
memberantas penyakit-penyakit pada tanaman yang kurang peka terhadap pH
dibandingkan dengan tanamannya (Poerwowidodo,
1992).
Dari hasil yang didapat, kisaran kedalaman tanah
pada lapisan 1 yaitu berkisar antara 0 – 100
cm, lapisan 2 berkisar antara 7
– 290 cm, lapisan 3 lebih dari 290 cm.
Kedalaman lapisan tanah pada daerah rawa bervariasi tergantung ketebalan dari
tumbukan sisa-sisa tanaman dan mineral
yang terdekomposisi. Kedalaman lapisan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti lapisan tersebut sering digunakan untuk budidaya tanaman, kandungan air
tanah dan kedalaman drainase.
Berdasarkan hasil praktik lapangan yang
dilakukan didapat bahwa rata – rata tanah memiliki pH 4 yang termasuk dalam
kriteria masam. Hal ini disebabkan karena tanah pada lahan praktik lapangan
mengalami pencucian yang tinggi, selain itu juga tanah- tanah tersebut terdapat
tanah gambut, sedangkan tanah gambut merupakan tanah yang memiliki pH tanah
yang masam.
Hal ini sangat berpengaruh sekali
terhadap ketersediaan hara bagi tanaman. Pada tanah-tanah yang bereaksi masam
ini memungkinkan adanya unsur -unsur, misalnya Al, Mn dan Fe yang bersifat
toksik bagi tanaman, sehingga tanaman dalam penyerapan unsur hara menjadi
terganggu, akibatnya tanaman bisa mati. Untuk mengurangi kemasaman tanah dapat
dilakukan dengan pengapuran.
Adapun
sebab-sebab yang dapat menyebabkan tanah bereaksi masam antara lain berhubungan
dengan adanya ion H+, unsur Al, terjadinya desosiasi gugus fungsional dari
bahan organik, dan pemakaian pupuk yang berfisiologis masam secara
terus-menerus. Selain itu daerah yang bercurah hujan tinggi memiliki tanah yang
masam karena tercucinya kation- kation basa yang ada pada tanah sehingga pH
menjadi rendah.
Tabel 4. Pengamatan lapangan struktur, warna
Distrik S. baung Transek 1
Titik
Sampel
|
Struktur
|
Warna
|
||||||
Lap I
|
Lap II
|
LapIII
|
Lap IV
|
Lap I
|
Lap II
|
Lap III
|
Lap IV
|
|
Titik 1
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 5/2
|
10 YR 5/4
|
-
|
Titik 2
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 4/1
|
10 YR 5/4
|
10 YR 6/3
|
-
|
Titik 3
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 5/4
|
10 YR 5/2
|
-
|
Titik 4
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 4/2
|
10 YR 3/3
|
10 YR 5/3
|
-
|
Titik 5
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 4/1
|
10 YR 5/3
|
10 YR 5/3
|
-
|
Titik 6
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/1
|
10 YR 5/4
|
10 YR 5/3
|
-
|
Titik 7
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/2
|
10 YR 5/4
|
10 YR 5/3
|
-
|
Titik 8
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 4/3
|
10 YR 5/2
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 9
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 4/1
|
10 YR 5/3
|
-
|
Titik 10
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/2
|
10 YR 7/3
|
10 YR 4/3
|
-
|
Titik 11
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 7/3
|
10 YR 4/2
|
-
|
Titik 12
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/1
|
10 YR 3/2
|
10 YR 6/3
|
-
|
Titik 13
|
Massif
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/3
|
10 YR 6/3
|
-
|
Titik 14
|
-
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/3
|
10 YR 4/2
|
10 YR 6/3
|
-
|
Titik 15
|
-
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/3
|
10 YR 5/3
|
10 YR 6/3
|
-
|
Titik 16
|
-
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/3
|
10 YR 5/1
|
10 YR 5/3
|
-
|
Titik 17
|
-
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/3
|
10 YR 5/3
|
10 YR 5/3
|
-
|
Titik 18
|
-
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/3
|
10 YR 5/2
|
10 YR 6/3
|
-
|
Titik 19
|
-
|
Massif
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/3
|
10 YR 5/1
|
10 YR 6/3
|
-
|
Titik 20
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/3
|
10 YR 5/2
|
-
|
Titik 21
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10YR 2/1
|
10 YR
3/3
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 22
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/2
|
10 YR 6/1
|
-
|
Titik 23
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/3
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 24
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/2
|
10 YR 2/3
|
10 YR 4/1
|
-
|
Titik 25
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/3
|
10 YR 2/3
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 26
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/2
|
10 YR 2/3
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 27
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/2
|
10 YR 5/3
|
-
|
Titik 28
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/2
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 29
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/2
|
10 YR 5/2
|
-
|
Titik 30
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/2
|
10 YR 4/1
|
10 YR 5/2
|
-
|
Titik 31
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/2
|
10 YR 4/2
|
-
|
Titik 32
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 3/2
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 33
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/2
|
10 YR 3/2
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 34
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 3/1
|
10 YR 3/2
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 35
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 3/1
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 36
|
-
|
-
|
Massif
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 2/2
|
10 YR 4/2
|
-
|
Titik 37
|
-
|
-
|
-
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 3/1
|
10 YR 4/2
|
-
|
Titik 38
|
-
|
-
|
-
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 3/1
|
10 YR 5/2
|
-
|
Titik 39
|
-
|
-
|
-
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 3/1
|
10 YR 5/1
|
-
|
Titik 40
|
-
|
-
|
-
|
-
|
10 YR 2/1
|
10 YR 3/2
|
10 YR 4/2
|
-
|
Struktur
tanah adalah sifat fisik tanah sekaligus ciri-ciri tanah yang menunjukkan
keterikatan butir tanah yang satu dengan butir tanah yang lain. Pengelompokan
dilakukan dengan membedakan bentuk dan susunan agregat tanah menjadi glanular,
tiang, remah, prisma, butir, kubus, lepas.
Pada praktik lapangan ini, pada
lapisan I ttik 1 – 13 memiliki struktur masif, titik 14 – 40 tidak memiliki
struktur, karena pada titik tersebut merupakan tanah gambut. Pada lapisan II titik 1 – 19 memiliki
struktur masif dan pada titik 20 – 40 tidak memiliki struktur dikaranakan pada
titik tersebut merupakan tanah gambut. Pada lapisan III titik 1 – 36 memiliki
struktur massif sedangkan titik 37 – 40 masih di temukan gambut jadi tidak
memiliki struktur.
Struktur
massif dihasilkan dari
proses reduksi terjadi pada
lapisan atasnya atau tanah tersebut sering tergenang sehingga tanah tersebut
menjadi tempat penimbunan partikel-partikel liat yang terbawa oleh air akibat
erosi. Tanah yang berstruktur masif
juga dapat di tentukan dengan cara di genggam dengan tangan, yang lembek jika basah dan keras jika
kering atau apabila dilumat dengan air dapat membentuk pasta disebut juga tanpa
struktur, hal
inilah yang menyebakan tanah-tanah di daerah rawa berstruktur massif
Warna tanah adalah sifat yang
paling jelas dan mudah ditentukan, dimana ditentukan dengan cara membandingkan
dengan warna baku yang tedapat pada Munsell
Soil Color Chart. Sedangkan penentuan tanah di lapangan meliputi penetapan
warna dasar tanah ( matiks ), warna plinthit, dan warna humus ( Hadjowigeno, 1993).
Pada lahan praktik lapangan ini, warna
tanah pada lapisan I cinderung menunjukkan warna yang lebih gelap dengan ukuran
rata- rata 10YR 2/1, 2/2 3/2, 3/3, ini d karekan lapisan I lebih banyak
mengandung kandungan organik sehingga warna tanah cinderung mengarah ke gelap.
Sedangkan pada tanah lapisan II, memliki ukuran warna sedikit terang rata- rata
10 YR 3/2, 3/3/ 4/1, 5/1 di bandngkan lapisan I, karena pada lapisan ini
pencucian air tanah lebih tinggi di bandingkan lapisan di atasnya. Pada lapisan
III tanah memiliki warna yang lebih terang di bandingkan lapisan I dan II, hal
ini di karenakan adanya pencucian tinggi pada lapisan tersebut, warna tanah
berkisar 10 YR 4/1, 5/1. 6/1, 6/3 yang
menunjukkan kandungan warna tanah terang.
Tabel 5. pengamatan
lapangan kedalaman gambut, kematangan
gambut Distrik S. baung Transek 1
Titik
Sampel
|
Kedalaman Gambut
(cm)
|
kematangan gambut
|
|||
Lapisan I
|
Lapisan II
|
Lapisan III
|
Lapisan IV
|
||
Titik 1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 2
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 4
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 5
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 6
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 7
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 8
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 9
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 10
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 11
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 12
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 13
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Titik 14
|
50
|
Fibrik
|
-
|
-
|
-
|
Titik 15
|
50
|
Fibrik
|
-
|
-
|
-
|
Titik 16
|
50
|
Fibrik
|
-
|
-
|
-
|
Titik 17
|
80
|
Fibrik
|
-
|
-
|
-
|
Titik 18
|
150
|
Fibrik
|
-
|
-
|
-
|
Titik 19
|
70
|
Fibrik
|
-
|
-
|
-
|
Titik 20
|
125
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 21
|
250
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 22
|
290
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 23
|
290
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 24
|
290
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 25
|
290
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 26
|
280
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 27
|
260
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 28
|
250
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 29
|
210
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 30
|
260
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 31
|
250
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 32
|
290
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 33
|
250
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 34
|
250
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 35
|
280
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 36
|
290
|
Fibrik
|
Hemik
|
-
|
-
|
Titik 37
|
270
|
Fibrik
|
Hemik
|
Fibrik
|
-
|
Titik 38
|
290
|
Fibrik
|
Hemik
|
Fibrik
|
-
|
Titik 39
|
290
|
Fibrik
|
Hemik
|
Fibrik
|
-
|
Titik 40
|
280
|
Fibrik
|
Hemik
|
Fibrik
|
-
|
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan
tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau
lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman
yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin
hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back
swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman
yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah
karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi
lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota
pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno,
1986).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai
sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan
posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan
asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas
kandungan seratnya < 15%. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah
lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila
diremas bahan seratnya 15 – 75%. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang
belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas
>75% seratnya masih tersisa (Agus et al., 2008).
Pada lahan praktik lapangan ini, kedalaman gambut
berkisaran 50 cm – 290 cm, pada lapisan I titik 14 – 40 tingkat kematangan
gambutnya fibrik (mentah), karena pada lapisan I masih banyak mengandung
serasa-serasa yang terdekomsisi kurang sempurna, masih banyak terdapat
serabut-serabut dan bahan asalnya masih bisa dikenali. Pada lapisan II titik 20
– 40 memiliki tingkat kematangan gambutnya hemik (setengah matang), pada
lapisan ini merupakan lapisan lanjut, dimana tingkat dokomposisi tanamannya
mendekati sempurna.
Pada lapisan III titik 37- 40 memiliki tingkat kematangan gambut fibrik
(mentah) yang lebih mentah dibandingkan lapisan II. Hal
ini dikarenakan oleh pengolahan tanah dan konversi tanah gambut menjadi lahan
budidaya pertanian yang menyebabkan sebagian dari gambut hemik yang sudah
setengah melapuk yang berada di lapisan bawah terangkat ke permukaan sehingga
lapisan II
mempunyai tingkat kematangan hemik. Sedangkan lapisan fibrik yang semula berada
di lapisan atas yang baru terbentuk dan belum melapuk, berada di bawah lapisan
hemik karena tertimbun oleh lapisan tersebut sehingga lapisan III mempunyai tingkat
kematangan fibrik.
Semakin tebal gambut, semakin penting fungsinya
dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan, dan sebaliknya semakin
ringkih (fragile) jika dijadikan lahan pertanian. Pertanian di lahan
gambut tebal lebih sulit pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya
rendah dan daya dukung (bearing capacity) tanahnya rendah
sehingga sulit dilalui kendaraan pengangkut sarana pertanian dan hasil panen.
Gambut tipis, tetapi berpotensi sulfat masam (mempunyai lapisan pirit relatif
dangkal), juga sangat berbahaya kalau dikonversi menjadi lahan pertanian (Agus, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., T. June, H.
Komara, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu, dan E. Susanti. 2008. Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim dari Lahan Perkebunan. Laporan Tahunan 2008,
Konsorsium Litbang Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Sumber Daya
Lahan Pertanian, Bogor.
Agus, F. 2009. Cadangan
karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut. Prosiding Seminar
Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari 2009, Malang.
Arisman, H dan
Eko B. Hardiyanto, 2005. Acacia mangium – Perkembangan Budidayanya.
Lokakarya Busuk hati dan Busuk akar pada Hutan Tanaman Akasia. Yogyakarta 7 – 9 Februari 2005 pp. 1- 6
Buckman dan Brady, N.C.
1982. The Nature and Properties of Soil. The Mac Millan Public W. Inc.
New York
Donahue, N.R., R.W.
Miller and J.C, Shield. 1977. Soil Introductory to Soil and Plant Growth.
Prentice Hall. New Jersey.
Engelstad,
O.P. (ed). 1997. Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Gadjah Mada University
Press
Hakim, N., A. M. Lubis., S.G Nugroho., M.R Saul.,
M.A. Diha dan G. B. Hong. 1989. Dasar-dasar Ilmu Tanah. BKS. PTN/USAID W.U.A.E.
Project. Lampung.
Hanafiah, K. A.
1992. Intervensi dan Adaptasi Budidaya Dalam Ameliorasi Lahan Rawa untuk
Pertanian. Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan
Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang.
Hanafiah, K.A. 2005.
Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.
Hardjowigeno, S. 1993.
Kalasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta.
Jansen, J.A.M., Andriesse, and Alkusuma.
1994. Manual for soil survey in coastal lowlands.Lawoo/ AARD
Kurniawan,
2008. publikasi tulisan ilmiah kehutanan. Balai penyakit pada Aksaia mangium
serta alternatif pengendaliannya. Balai penelitian
kehutanan Palembang
Lee,
S. 2002. Overview of the Heartrot Problem in Acacia-Gap Analysis and Research
Opportuniosties. pp.18-21 In: K. Barry (Ed.), (Peny.) Heartrots in
Plantations Hardwoods in Ind. And Autralia. ACACIAR Technichal Report 5Ie,
CSIRO Publishing, Canbera.
Lillesand,
Th. M. and Ralph W. Keifer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation .
John Willey and Sons. New York.
Poerwowidodo. 1992. Metoda Selidik Tanah.
Universitas Nasional. Surabaya
Risza, S. 1994.
Budidaya Kelapa Sawit dan Upaya Peningkatan Produktifitas. Kanisius.
Yogyakarta.
Sjarkowi, F dan A
Noerdin. 1989. Beberapa potensi tentang potensi/aspek tanah daerah lebak/ rawa
di Sumatera Selatan. Makalah pada Simposium Pemanfaatan Potensi Daerah Lebak.
Palembang. 1978.
Sumarwoto, O. 1989. Tekanan terhadap lingkungan, khususnya lahan dan
tanggung jawab terhadap dunia industri. Managemen
Industri.
Soepraptohardjo, M. and
P.M. Dreissen. 1976. The lowland and peat of Indonesia, a challenge for the
fure. In peat and Podsolic Soils and their Pottntial foe Agriculture in
Indonesia. Bull. Soil Res. Inst., Bogor, 3: 11-19.
Susanto. R.H. 1996.
Pengantar Fisika Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Indralaya.
Sutanto, R. 1998. Inventarisasi
Teknologi Alternatif Dalam Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Fakultas
Pertanian UGM. Yogayakarta.
Tejasukmana, B.S., Wawan K. Harsanugraha, Ratih Dewanti, dan Kustiyo. 1994.
ProspekPemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Rasionalisasi Data
PenggunaanSumberdaya Lahan. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan di Cisarua, 9-11
Februari,1999.
Tjiptrosoepomo, G.
1988. Taksonomi tumbuhan. Gadjah mada university press. Yogyakarta.
Widjaja-Andhi, I P. G.
1984. Masalah tanaman di tanah gambut. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian
Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.
Young, Antony. 1976.
Tropikal Soils and Soil Survey. Cambridge University Press. Cambridge.
Sure 2 Odds Prediction : 100% sure 2 - Topbet dafabet dafabet カジノ シークレット カジノ シークレット 605The Hard Rock Casino | Sloto Cashier®
BalasHapus