Senin, 09 April 2012

MIKORIZA DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT (BPF)







Potensi Bakteri Pelarut Fosfat dan Mikoriza Arbuskular  Pada Rhizosfer Beberapa Vegetasi Di Lahan Lebak

PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang
Rawa lebak secara alami merupakan daerah dataran banjir yang terdapat di kiri-kanan sungai. Lahan ini biasanya akan mengalami periode basah sepanjang tahun terutama pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau genangan air berkurang. Selama ini lahan rawa lebak di Sumatera Selatan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian seperti padi, palawija, buah-buahan, serta pemanfatan vegetasi alami seperti kayu-kayu dan rerumput rawa. Selain dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, lahan rawa lebak juga dimanfaatkan untuk perikanan (Rahim, 1992).
Luasan lahan rawa lebak di Indonesia sekitar 14,7 juta hektar dan 1,1 juta hektar di antaranya berada di Sumatera Selatan yang terbentang di kawasan hilir Sungai Musi, Sungai Ogan dan Sungai Komering. Lahan rawa lebak di Sumatera Selatan memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. (Syarkowi et al., 1991).
Potensi pertanian di lahan rawa lebak cukup luas dan beragam. Ekologi masing-masing lokasi dan tipologi lahan rawa lebak, merupakan faktor penentu dalam penyusunan pola tanam maupun jenis komoditas yang dibudidayakan (Noor, 2007).
Menurut Rahim (1992), kendala pengembangan tanaman di lahan lebak biasanya dibatasi oleh tata air yang masih alami, kesuburan tanah alami yang rendah sampai sedang, serta terdapat kandungan ion-ion dan senyawa-senyawa yang dapat  meracuni tanaman antara lain Al, Fe, Mn dan S. Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimianya, melainkan juga pada ciri alami mikroba penghuninya yang juga berperan dalam proses pelapukan bahan organik dan penyediaan unsur hara (Rao, 1994).
Untuk reklamasi kesuburan tanah lebak, perlu adanya usaha mengurangi kemasaman tanah sehingga dapat menaikkan kesuburan alami, yaitu dengan pengapuran dan pemupukan. Pemberian kapur dan pupuk anorganik bermanfaat dalam meningkatkan produksi tanaman maupun produktivitas lahan (Suwarno et al., 1990).
Pendekatan yang komprehensif akan kesuburan tanah selama ini hanya memfokuskan dari faktor kimianya saja, penggunaan pupuk N yang berlebihan menyebabkan unsur P dalam tanah terikat sehingga tidak tersedia bagi tanaman, ini  telah terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas tanah dalam jangka panjang (Aryantha et al., 2002). Pada akhirnya, praktek pertanian intensif di satu sisi telah berakibat pada kesuburan tanah seperti: berkurangnya materi organik, tanah menjadi keras, kurangnya porositas tanah, rendahnya nilai tukar ion tanah, rendahnya daya ikat air, rendahnya populasi dan aktivitas mikroba (Stoate et al., 2001).
Sejalan dengan peningkatan kesadaran manusia akan pemanfaatan segala sesuatu yang bersahabat dengan alam, maka penggunaan pupuk kimia untuk tanaman semakin dikurangi, sebagai gantinya mulai digunakan pupuk hayati (biofertilizer), pupuk hayati merupakan suatu bahan amandemen yang mengandung mikroorganisme, yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah dan kualitas hasil tanaman. Mikroorganisme yang umum digunakan sebagai bahan aktif pupuk hayati ialah mikroba penambat nitrogen, pelarut fosfat dan pemantap agregat (Subba Rao, 1982).
Secara umum, rhizosfer beberapa vegetasi tanah yang sehat akan dihuni oleh organisme yang menguntungkan karena dapat memanfaatkan subtrat organik dari bahan organik atau eksudat akar tanaman sebagai sumber nutrisi dan energinya. Sejumlah mikroba tanah memegang peran penting pada kesuburan tanah, sehingga mikroba merupakan indikator dalam menentukan kualitas tanah (Hanafiah et al., 2003).
Fosfor (P) merupakan unsur yang paling penting bagi tanaman di samping unsur hara lainnya. Dari hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan, bahwa kekurangan P dapat menurunkan produksi. Usaha peningkatan tersedianya P bagi tanaman dengan pemupukan sudah banyak dilakukan, tetapi kenyataannya bahwa sejumlah pupuk P yang diberikan fosfatnya sering diikat atau dijadikan tidak tersedia, terutama pada tanah mineral bereaksi masam ( Buckman dan Brady, 1982).
Menurut penelitian Saraswati (1999) menyimpulkan bahwa, pada tanaman kedelai menunjukkan adanya peningkatan serapan unsur hara seperti P (dari 3.00 menjadi 3.30 mg pot-1), N (dari 65.40 menjadi 65.80 mg pot-1) dan meningkatkan produksi tanaman kedelai dari 1.700 kg/ha menjadi 1.829 kg/ha yang diinokulasi dengan fungi Aspergillus sp. Hasil penelitian tersebut memberikan indikasi bahwa pemberian pupuk berbasis mikroorganisme dapat memperbaiki atau memulihkan kondisi fisik, kimia dan biologi tanah serta dapat meningkatkan hasil tanaman.
Salah satu alternatif untuk mengatasi rendahnya P-tersedia tanah adalah dengan bioteknologi tanah, yaitu memanfaatkan mikrobia tanah yang hidup bebas dan memiliki kemampuan untuk melarutkan P pupuk maupun P tanah, serta dapat membantu jangkauan akar dalam menyerap P tanah seperti bakteri pelarut fosfat (BPF) dan spora mikoriza arbuskular (MA), sehingga tanaman mampu menyerap P tanah untuk mencukupi kebutuhannya (Hasanudin dan Gonggo, 2004).
Pengaruh yang menguntungkan dari keberadaan asosiasi fungi mikoriza dengan akar tanaman akan lebih nyata bila keberadaaan P tanah rendah. Peningkatan komponen-komponen pertumbuhan dengan menggunakan perlakuan MA disebabkan karena, penyerapan unsur hara oleh akar tanaman lebih banyak khususnya unsur hara fosfor (P), dibandingkan tanpa perlakuan MA (Sastrahidayat et al., 1998).
Lingkungan dan faktor biotik diketahui memiliki pengaruh terhadap pembentukan MA dan derajat infeksi dari sel korteks inang. Perbedaan waktu yang diperlukan untuk infeksi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kerapatan akar, rata-rata pertumbuhan akar, jumlah spora, persentase perkecambahan spora dan rata-rata pertumbuhan hifa. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap pembentukan MA dalam hal suplai hara, kelembaban dan pH tanah (Richards, 1987).
Bakteri tanah yang berperan di dalam penyediaan unsur hara P adalah BPF. Menurut Musnamar (2003), tanah rawa lebak pada umumnya memiliki ketersediaan P rendah, karena hara P terikat oleh alumnium (Al) dan besi (Fe). BPF akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakan P bagi tanaman (Nuhamara, 1994). Secara umum populasi BPF dipengaruhi oleh kandungan bahan organik dan temperatur tanah, BPF biasanya banyak ditemukan pada tanah yang beriklim basah dibandingkan pada tanah beriklim kering  (Gupta et al., 1986).
Pseudomonas sp., Bacillus sp., Bacillus megaterium, dan Chromobacterium sp. adalah sebagian dari kelompok BPF yang mempunyai kemampuan tinggi sebagai “biofertilizer” dengan cara melarutkan unsur P yang terikat oleh unsur lain (Fe, Al, Ca, dan Mg), sehingga unsur P tersebut menjadi tersedia bagi tanaman (Widawati dan Suliasih, 2005).
Dalam rangka pemanfaatan mikroorganisme untuk membantu peningkatan baik pertumbuhan maupun produksi tanaman, telah banyak dilakukan studi inokulasi ganda antara dua kelompok organisme yaitu (MA dengan bakteri penambat N) dan (BPF dengan bakteri penghasil faktor tumbuh). Dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: in vitro, dalam tanah steril, ataupun di lapangan.
Pengaruh interaksi tersebut perlu dipertimbangkan karena asosiasi antara tanaman, MA dan BPF tidak hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, tetapi juga berpengaruh terhadap fisiologi ketiga organisme tersebut. Mengingat interaksi antar organisme tersebut sangat spesifik, maka pemahaman interaksi yang sangat spesifik tersebut dapat menjadi kunci keberhasilan pemanfaatan MA dan BPF secara bersamaan (Pujiyanto, 2001).
Menurut Santosa (2001), lahan rawa lebak merupakan suatu ekosistem yang cukup unik, akibat perbedaan kedalaman genangan air dan adanya periode tergenang serta periode kering. Adanya periode basah dan kering yang berkesinambungan serta adanya perbedaan pemanfaatan lahan lebak untuk budidaya berbagai jenis tanaman, diduga akan berpengaruh terhadap keragaman mikroba tanah, termasuk BPF dan MA.
Dunia mikroba pada tanah rawa lebak, baik pengetahuan mengenai komunitasnya maupun potensi bioteknologinya, hingga saat ini masih belum banyak digali.  Oleh karena itu, perlu dipelajari potensi mikroba tanah lebak terutama BPF  dan MA  pada rhizosfer beberapa jenis tanaman yang tumbuh di tanah lebak.

B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
1.  Populasi BPF dan spora MA pada beberapa vegetasi (karet, jeruk, akasia, cabe, dan semak) yang tumbuh di tanah lebak, pada musim hujan.
2.  Hubungan antara P tersedia tanah, pH dan C-organik dengan populasi BPF dan jumlah spora MA di tanah lebak.

C. Hipotesis
1.  Diduga populasi bakteri pelarut fosfat dan spora mikoriza arbuskular pada musim hujan, bervariasi pada berbagai rhizosfer vegetasi yang tumbuh di tanah lebak.
2.  Ada hubungan yang erat antara populasi BPF dan spora MA dengan P-tersedia, pH tanah dan C-organik di tanah lebak

TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik Lahan Rawa Lebak
            Rawa merupakan areal cekungan di dataran rendah yang tergenang secara permanen, hampir atau sepanjang tahun akibat limpasan sumber air (sungai danau dan laut) terutama dimusim penghujan, tetapi rawa lebak tidak di pengaruhi oleh air laut (Hanafiah, 1992).
Lahan rawa dapat di jumpai pada daerah dataran rendah sepanjang dan muara sungai maupun pada dataran yang lebih tinggi, bagian tengah hingga hulu sungai, sehingga secara awam di kenal sebagai lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut. Lahan rawa lebak secara internasional disebut sebagai fresh water swamps, karena pada umumnya rawa ini terletak pada bagian tengah hingga hulu sungai yang airnya tawar, sedangkan lahan rawa pasang surut disebut tidal swamps karena letaknya di bagian hilir sungai yang secara langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Departemen Pertanian, 2005 dalam Martin, 2007).
            Berdasarkan tinggi genangan airnya, rawa lebak dibagi atas tiga bagian yaitu: 1) lebak dangkal, bila genangan airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan; 2) lebak tengahan, bila genangan airnya antara 50-100 cm selama 3-6 bulan dan ; 3) lebak dalam, bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan (Sudana, 2005).
            Menurut Djafar (1992), tanah dikawasan lebak umumnya dicirikan oleh kandungan bahan organik rendah hingga tinggi, kesuburan alami yang rendah, kandungan N, P, dan K dan kejenuhan basa rendah, kadar Al dan Fe tinggi serta reaksi tanah masam hingga sangat masam.
            Tingkat kesuburan lahan rawa lebak sangat bervariasi dan tergantung pada system saluran reklamasi. Kemerosotan kesuburan lahan rawa lebak berhubungan dengan heterogenesis lahan lebak, antara lain lahan yang mengandung pirit dan lahan yang bergambut tebal. Kemerosotan kesuburan lahan rawa lebak dikaitkan dengan system tata air, semakin dekat dengan saluran utama maka kematangan bahan organik semakain meningkat (Armanto et al., 1998).
Menurut Noor (2007), bahwa Sifat fisika tanah dari lahan rawa lebak umumnya tergolong masih mentah dengan kandungan liat tinggi, selain itu memiliki gambut tebal dengan berbagai taraf kematangan dari mentah (fibrik) sampai matang (saprik). Lapisan bawah dapat berupa lapisan pirit (FeS2) yang berpotensi masam sedangkan sifat kimia, kesuburan dan biologi tanah tergolong sedang sampai sangat jelek.
Jika ekosistem lebak tidak terganggu, maka lebak mengalami priode basah selama beberapa waktu atau sepanjang tahun terutama pada musim hujan, tetapi mengalami penurun tinggi air pada musim kemarau. Secara alami lahan lebak mengalami banjir pada musim hujan dan genangan air tersebut akan berlangsung 6-7 bulan. Pada masa tersebut petani tidak dapat menanami lahan lebak pada waktu yang diinginkan. Pada musim kemarau tiba, resiko yang datang adalah gagal panen serta serangan hama dan penyakit. Hal ini menyebabkan produktivitas lahan lebak menurun (Rahim, 1992).

B. Rhizosfer
Akar tanaman merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan mikroba, interaksi antara bakteri dan akar tanaman akan meningkatkan ketersediaan nutrien bagi keduanya. Permukaan akar tanaman disebut rhizoplane, sedangkan rhizosfer adalah selapis tanah yang menyelimuti permukaan akar tanaman yang masih dipengaruhi oleh aktivitas akar. Tebal tipisnya lapisan rhizosfer antar setiap tanaman berbeda, rhizosfer merupakan habitat yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba, disebabkan akar tanaman menyediakan berbagai bahan organik yang umumnya menstimulir pertumbuhan mikroba.
Bahan organik yang dikeluarkan oleh akar dapat berupa; 1). Eksudat akar adalah bahan yang dikeluarkan dari aktivitas sel akar hidup seperti gula, asam amino, asam organik, asam lemak dan sterol, faktor tumbuh, nukleotida, flavonon, enzim dan miscellaneous, 2). Sekresi akar adalah bahan yang dipompakan secara aktif keluar dari akar; 3). Lisat akar adalah bahan yang dikeluarkan secara pasif saat autolisis sel akar dan 4). musigel adalah bahan sekresi akar, sisa sel epidermis, sel tudung akar yang bercampur dengan sisa sel mikroba, produk metabolit, koloid organik dan koloid anorganik (Hadi, 2001).
Enzim utama yang dihasilkan oleh akar adalah oksidoreduktase, hidrolase, liase, dan transferase, sedangkan enzim yang dihasilkan oleh mikroba di rhizosfer adalah selulase, dehidrogenase, urease, fosfatase dan sulfatase. Dengan adanya berbagai senyawa yang menstimulir pertumbuhan mikroba, menyebabkan jumlah mikroba di lingkungan rhizosfer sangat tinggi (Sudana, 2005).
Mikroba rhizosfer dapat memberi keuntungan bagi tanaman, karena mikroba dapat melarutkan dan menyediakan unsur hara seperti N, P, Fe dan unsur lain, selain itu mikroba juga dapat menghasilkan vitamin, asam amino, auxin dan giberelin yang dapat menstimulir pertumbuhan tanaman. Mikroba menguntungkan akan menghambat pertumbuhan bakteri lain yang patogenik dengan menghasilkan antibiotik. Pseudomonadaceae merupakan kelompok bakteri rhizosfer (rhizobacteria) dapat menghasilkan senyawa yang dapat menstimulir pertumbuhan tanaman. Contoh spesies yang telah banyak diteliti dapat merangsang pertumbuhan tanaman adalah Pseudomonas fluorescens (Hadi, 2001).

C. Bakteri Pelarut Fosfat
            Mikroba tanah merupakan bagian terpenting dari kehidupan di dunia, karena merupakan bagian dari kehidupan flora, fauna dan mikroba itu sendiri. Mikroba tanah seperti bakteri pelarut fosfat (BPF) juga berperan penting dalam ekosistemnya sebagai perombak bahan organik, mensintesis dan melepaskan kembali dalam bentuk bahan organik yang tersedia bagi tanaman, serta dapat mempertahankan ekosistem alam. Secara fungsional bahan organik dan anorganik yang dilepas tanaman ke dalam lingkungan berguna untuk keberlangsungan hidup mikroba tanah (Setiadi, 1989).
Mikroba tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam proses penguraian bahan organik kompleks, yang secara enzimatik akan membebaskan nutrien dari fraksi mineral tanah sehingga tersedia bagi tanaman. Salah satu bakteri yang penting adalah BPF karena berperan dalam melarutkan fosfat organik dan anorganik menjadi fosfat terlarut, sehingga dapat digunakan atau diserap oleh akar tanaman maupun mikroba tanah lainnya (Rao, 1982).
Bakteri BPF merupakan bakteri tanah yang bersifat non patogen, sehingga termasuk dalam katagori bakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Bakteri tersebut menghasilkan vitamin dan fitohormon yang dapat memperbaiki pertumbuhan akar tanaman serta meningkatkan serapan hara (Glick, 1995). Bakteri pelarut fosfat merupakan satu-satunya kelompok bakteri yang dapat melarutkan P yang terjerap permukaan oksida-oksida besi (Fe-P) dan almunium (Al-P). Bakteri tersebut berperan juga dalam transfer energi, penyusunan protein, koenzim, asam nukleat dan senyawa-senyawa metabolik lainnya yang dapat menambah aktivitas penyerapan P pada tumbuhan yang kekurangan P (Rao, 1994).
Pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH sekitar netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH tanah. Secara umum BPF yang dominant diisolasi dari rhizosfer tanah, sehingga termasuk kedalam golongan mikroorganisme aerob pembentuk spora (Taha et al., 1969), hidup pada kisaran pH 4-10,6 (Sen dan Paul, 1957). Beberapa contoh bakteri yang mampu melarutkan fosfat antara lain adalah Penicillium sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus megatherium (Isroi, 2002).

D. Mikoriza Arbuskular
            Mikoriza (MA) adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara jamur (mykes) dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat tinggi. MA dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara dan air yang tidak tersedia lagi bagi tanaman (Anas dan Sentosa, 1992), MA juga berfungsi sebagai kontrol biologi dan  meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan. MA dapat berperan dalam mempercepat laju pertumbuhan, meningkatkan kualitas dan daya hidup bibit tanaman (Husin, 1994), selain itu mikoriza dapat juga dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktifitas tanaman lahan kritis (Subiksa, 2002).
Spora MA arbuskula mulai ditemukan pada profil tanah sekitar kedalaman 20 cm tetapi walaupun demikian juga, masih terdapat pada kedalaman 70-100 cm. Spora MA tersebar secara aktif (tumbuh dengan mycelium dalam tanah) dan tersebar secara pasif dimana spora MA arbuskular tersebar dengan angin, air atau mikroorganisme dalam tanah (Coyne, 1999).
MA mempunyai kemampuan spesifik dalam meningkatkan penyerapan P, dari bentuk P sukar larut maupun P yang terdapat secara alami pada tanah-tanah marginal dengan ketersediaan P rendah. Pada tanaman yang diinokulasi dengan MA memiliki kandungan unsur hara lebih tinggi, dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi MA (Mosse, 1973). Unsur hara yang meningkat serapannya diantaranya adalah P dan K. Dengan adanya perbaikan kandungan P, maka tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap cekaman air (Sieverding, 1991).
Ae et al., (1990) melaporkan bahwa tingginya efisiensi serapan P pada tanaman bermikoriza tidak disebabkan tingginya aktivitas pelarutan P yang tidak tersedia, namun disebabkan oleh tingginya efisiensi serapan P dari bentuk P yang tersedia. Tarafdar and Marschner (1994) mengemukakan bahwa kemampuan MA dalam simbiosisnya dengan tanaman bertujuan untuk meningkatkan serapan P tanaman dari P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman.
MA yang sering dipakai untuk biofertilizer dibedakan atas dua  kelompok yaitu ektomikoriza dan endomikoriza (Isroi, 2002). Namun ada yang membedakan menjadi 3 kelompok dengan menambahkan jenis ketiga yaitu peralihan dari 2 bentuk tersebut yang disebut ektendomikoriza (Wikipedia, 2006).

E. Sinergisme Antar Bakteri dan Jamur
Interaksi antara dua spesies jamur MA Glomus mosseae dan G. fasciculatum dengan bakteri pelarut fosfat Azospirillum spp., Pseodomonas spp., Bacillus spp., dan Enterobacter spp. pada tanaman legum Pueraria phaseolides telah diteliti oleh (Toro et al., 1996 dalam Pujiyanto, 2001).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara umum simbiosis antara tanaman, baik MA maupun BPF dapat meningkatkan pertumbuhan serta serapan nutrisi tanaman. Kondisi tanaman yang lebih baik tersebut terjadi karena inokulasi bakteri mampu melarutkan fosfat, dari bentuk terikat sehingga tidak tersedia bagi tanaman, menjadi bentuk terlarut yang tersedia bagi tanaman diikuti oleh serapan yang lebih intensif karena adanya MA.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widyati (2007) bahwa formulasi inokulum mikroba yang diisolasi dari lahan bekas tambang batubara, yang paling baik untuk bibit A. crassicarpa adalah inokulum tinggal MA atau konsorsium rhizobia, MA dan BPF. MA mempunyai peran ganda terhadap tanaman inangnya; meningkatkan pertumbuhan dan meningkatkan optimasi inokulasi rhizobium dan BPF pada bibit A. crassicarpa 4 bulan di persemaian. Inokulasi dengan konsorsium mikroba memberikan hasil yang paling baik dalam meningkatkan tinggi (26%), biomas (137%) dan serapan N (164%), P (335%) dan K (167%) dalam tanaman. Inokulasi MA secara murni dapat meningkatkan serapan N tanaman 80%, P 383% serta K 51% dibanding kontrol. Peningkatan serapan hara dengan perlakuan MA murni dapat meningkatkan biomas 91% dan pertambahan tinggi 114% dibanding kontrol.
Jamur MA yang diinokulasikan mampu merubah fisiologi tanaman,  sehingga eksudat tanaman bermikoriza akan berbeda dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Spesies jamur MA yang berbeda juga akan memberikan pengaruh berbeda terhadap tanaman. Seperti halnya pada interaksi antara jamur MA dengan bakteri penambat N, interaksi antara jamur MA dengan bakteri pelarut fosfat juga bersifat spesifik, tergantung pada spesies jamur MA, spesies bakteri, dan spesies tanamannya (Pujiyanto, 2001).

PELAKSANAAN PENELITIAN
A.     Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan contoh tanah untuk penelitian dilakukan pada musim hujan di lahan rawa lebak Desa Rambutan – Parit Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia, Biologi, dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya. Waktu pelaksanaan Penelitian dimulai bulan Januari 2010 hingga April 2010.

B.     Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah: 1) cangkul, 2) pelastik, 3) karet gelang, 4) kertas saring, 5) saringan tanah dengan diameter (500 µm, 106 µm, dan 45 µm), 6) vakum penyaring, 7) sentrifusi, 8) belender, 9) mikroskop, 10) cawan petri, 11) tabung reaksi, 12) pipet tetes, 13) laminar, 14) oven, 15) timbangan, 16) outoclave, 17) coloni  meter, 18) meteran dan alat - alat analisis kimia
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah: 1) alkohol 70%, 2) media piskovkaya (Glukosa 10 gram, AlPO4 2,84 gram, (NH4)2SO4 0,5 gram, NaCl 2 gram, KCl 0,2 gram, MgSO4.7H2O 0,1 gram, Yeast Extract 0,5 gram, MnSO4.H2O 0,002 gram, FeSO4.7H2O 0,002 gram, Agar 15 gram), 3) sukrosa dan bahan – bahan analisis kimia.
C.     Metode Penelitian
Penelitian ini diawali dengan kajian lapangan, dalam rangka mendapatkan data mengenai tipe penggunaan lahan lebak serta intensitas penggunaannya. Survai penentuan lokasi, pengambilan contoh tanah dan organisme tanah (BPF dan spora MA) didasarkan pada penggunaan lahan pertanian (semak, cabai, jeruk, karet dan akasia), baik mengenai cara pembukaan lahan, riwayat teknik budidayanya, lama penggunaan lahan, riwayat pemupukan dan dosis pupuk, serta penggunaan pestisida. Lokasi penelitian difokuskan pada lahan lebak yang terdapat di Desa Rambutan – Parit Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatra Selatan. Perbedaan vegetasi yang dijumpai menjadi perlakuan dalam penelitian ini.
  
D.  Pelaksanaan Penelitian
1. Pengambilan contoh tanah
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada musim hujan, kedalaman tanah yang diambil 0 – 10 cm di sekitar akar, sebanyak  3 titik sampling yang mewakili dan dari titik sampling tersebut diambil sampel tanah sebanyak ± 1 kg . Selanjutnya, dari masing-masing sampel dikompositkan. Untuk menjaga kondisi sampel tidak mengalami perubahan sebelum dianalisis, maka semua  sampel dimasukkan ke dalam pendingin.

2. Analisis sifat kimia tanah
Sifat kimia contoh tanah sumber BPF dan MA yang dianalisis meliputi (pH, C-organik, N-total dan P-tersedia).
E. Peubah yang Diamati
  1. Populasi bakteri pelarut fosfat menggunakan metode MPN pada media Pikovskaya
  2. Jumlah spora dengan metode pengayakan basah
  3. Sifat kimia tanah terdiri dari pH (metode elektrik), C-organik (metode Walkkey dan Black) dan P tersedia (metode P.Bray).

F.  Analisis Data
Pengaruh jenis vegetasi yang tumbuh di tanah lebak terhadap populasi BPF dan spora MA diuji dengan sidik ragam (uji F), dan jika hasil uji F menunjukkan pengaruh yang nyata akan dilanjutkan dengan uji beda (BNT pada taraf uji 5%).  Bentuk dan keeratan hubungan antara beberapa sifat kimia tanah (pH, P-tersedia, N-total dan C-organik) dengan populasi BPF atau jumlah spora MA diuji dengan regresi dan korelasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Tanah Awal
            Tanah yang digunakan dalam penelitiaan ini diambil dari Desa Sungai Rambutan Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Komering Ilir. Contah tanah diambil dari beberapa vegetasi yaitu semak, cabai, jeruk, karet dan akasia. Riwayat ringkasan penggunaan lahan dan teknik budidaya yang dilakukan oleh petani dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Riwayat ringkasan komoditas dan teknik budidaya
No
Tanaman
Umur
Luas
Keterangan
1
Semak
-
½ Ha
Lahan dalam kondisi masih alami, belum pernah diolah, tanaman yang tumbuh berupa tanaman-tanaman semak belukar.
2
Cabai
14 hst
¼ Ha
Petani menggunakan pupuk organik dan diberikan tiga bulan sekali, lahan ini mulanya berupa semak belukar kemudian di bersihkan dengan cara ditebas, di tebang dan di bakar, tanah di olah dengan cara membuat bedengan tanah.
3
Jeruk
40 hst
¼ Ha
Petani menggunakan pupuk organik dan diberikan tiga bulan sekali, lahan ini mulanya berupa semak belukar kemudian di bersihkan dengan cara ditebas, di tebang dan di bakar, tanah di olah dengan cara membuat guludan.
4
Karet
2 thn
½ Ha
Petani menggunakan pupuk organik pada awal pembukaan lahan, petani juga menggunakan pupuk Urea dan NPK yang  diberikan pada saat musim hujan, lahan ini mulanya berupa semak belukar kemudian dibersihkan dengan cara ditebas dan dibakar, sedangkan untuk pengolahan tanah dilakukan dengan cara dicangkul di sekitar tanaman. 
5
Akasia
-
½ Ha
Tanaman dibiarkan tanpa pemupukan dan pengolahan tanah, mulanya lahan ini berupa semak belukar kemudian dibersihkan dengan cara ditebas, dan dibakar sedangkan untuk pengolahan tanah dilakukan pada waktu awal penanaman.
            Berdasarkan Tabel 1, Pada budidaya tanaman cabai dan jeruk, teknik budidaya relatif sama yaitu sama-sama menggunakan pupuk organik dengan dosis 3200 kg ha-1, yang membedakan hanya dalam pengolahan tanahnya yaitu pada tanaman cabai lahan dibuat bedengan tanah, sedangkan untuk tanaman jeruk lahan dibuat guludan-guludan tanah.
            Pada tanah yang dibudidayakan dengan tanaman karet, pupuk organik hanya digunakan  pada awal tanam saja, setelah itu dilanjutkan dengan menggunakan pupuk anorganik yaitu urea dengan dosis 100 kg ha-1, dan NPK 100 kg ha-1 diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada musim hujan dan pada saat akhir musim hujan. Untuk tanaman akasia petani tidak memberikan perlakuan dan pengolahan tanah yang intensif, tanaman akasia dibiarkan tanpa adanya pemupukan. Sebelum dibudidayakan, vegetasi yang ada pada masing-masing lahan adalah semak belukar. Pengolahan tanah yang dilakukan sebelum dibudidayakan adalah membersihkan lahan dengan menebas semak kemudian dibakar. Sedangkan lahan semak merupakan lahan dalam kondisi belum diolah, dan tanaman yang tumbuh berupa tanaman-tanaman semak belukar.

B. sifat kimia tanah pada lokasi penelitian
Kandungan C-Organik, N-total, P-tersedia dan nilai pH dipengaruhi oleh berbagai tipe pemanfaatan lahan. Berdasarkan hasil analisis di laboratorium, maka karakteristik sifat kimia tanah pada masing-masing lahan dapat dilihat pada Tabel 2.



Tabel 2. Karakteristik sifat kimia tanah pada masing-masing penggunaan lahan .
Vegetasi
Sifat Kimia Tanah
pH
C-Organik
(g kg-1)
N-Total
(g kg-1)
P-Bray
(mg kg-1)
Semak
3,87 SM
30,4 T
2,8 S
7.00 SR
Jeruk
4,21 SM
31,9 T
2,9 S
34,6 T
Cabe
4,49 SM
16,6 R
4,8 S
58,15 ST
Karet
3,95 SM
30,9 T
2,9 S
11.3 R
Akasia
4,01 SM
48,0 T
4,4 S
5.60 SR
Keterangan:  SM = Sangat Masam       T = Tinggi     S = Sedang          R = Rendah     
                      ST = Sangat Tinggi          SR = Sangat Rendah

Dari Tabel 2 di atas, berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah dari PPTA (1993), nilai pH tanah pada masing-masing lahan yang dibudidayakan tergolong sangat masam. Reaksi tanah yang sangat masam pada lahan-lahan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan tercucinya basa-basa dari kompleks jerapan dan hilang melalui drainase. Pada keadaan basa-basa tercuci, yang tertinggal pada kompleks jerapan adalah kation Al3+ dan H+ sebagai kation yang dominan menyebabkan tanah bereaksi masam (Hakim et al., 1986).
            Kandungan C-Organik tanah pada masing-masing lahan yang dibudidayakan  beragam. C-organik rendah pada tanah yang dibudidayakan tanaman cabe, sedangkan semak, jeruk, karet dan akasia memiliki kandungan bahan C-organik yang tinggi. Tingginya kandungan C-organik pada tanah semak, jeruk, karet dan akasia disebabkan karena jumlah tajuk tanaman yang terdapat pada masing-masing lahan lebih banyak sehingga dapat bermanfaat untuk menambah kandungan bahan organik tanah. Sedangkan pada tanah yang dibudidayakan dengan tanaman cabe, jumlah tajuk tanamannya lebih sedikit sehingga input bahan organik lebih sedikit. Vegetasi penutup tanah mempengaruhi kadar bahan organik tanah dan populasi mikroba tanah, vegetasi hutan akan berbeda dengan padang rumput dan tanah pertanian, faktor-faktor ini saling berkaitan, sehingga sukar menilainya sendiri (Hakim et al., 1986).
            Kandungan N-total dari masing-masing tanah yang dibudidayakan semuanya tergolong sedang. Kandungan N-total sangat dipengaruhi oleh lingkungan setempat. Nitrogen merupakan unsur yang mudah hilang sebagai gas. Kondisi reduksi (tergenang) dapat mempertahankan kandungan N di dalam tanah. N-total di alam bersumber dari bahan organik dan gas N2 dari udara. Jumlah N total ini merupakan salah satu sumber hara N di alam yang dapat berubah menjadi nitrogen tersedia setelah mengalami proses pelapukan (Najiyati, 2005).
            Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa kandungan P tersedia pada masing-masing lahan memiliki nilai kandungan yang beragam. Pada lahan akasia dan semak tergolong memiliki kandungan P tersedia sangat rendah, tanah yang dibudidayakan dengan tanaman karet memiliki kandungan P tersedia yang rendah, tanah yang dibudidayakan dengan tanaman jeruk memiliki kandungan P tersedia tinggi, sedangkan tanah yang dibudidayakan dengan tanaman cabai memiliki kandungan P tersedia yang sangat tinggi, hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam pengolahan, perawatan dan juga pemupukan sehingga tanah yang dibudidayakan dengan tanaman cabe memiliki kandungan P tersedia yang lebih tinggi dibandingkan lahan lainnya.
Unsur P dalam praktek pemupukan sebagian besar menjadi tidak tersedia bagi tanaman karena terikat dalam bentuk anorganik dan organik. Di dalam tanah P relatif tidak mudah bergerak sehingga translokasi P dalam air ke akar bukan merupakan mekanisme yang penting untuk akumulasi unsur ini. Ketersediaan P bagi tanaman pada larutan tanah dapat ditingkatkan melalui senyawa pengkelat seperti asam organik (Fabig et al., 1989).

C. Populasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
            Berdasarkan analisis ragam, perbedaan tipe pemanfaatan lahan berpengaruh nyata terhadap populasi BPF. Populasi BPF yang paling banyak di temukan pada tanah yang dibudidayakan dengan tanaman cabe, sedangkan paling rendah dijumpai pada semak, dapat dilihat pada Tabel 3.      
Tabel 3. Populasi Bakteri  Pelarut Fosfat pada berbagai komoditas tanaman
Komoditas Tanaman
Populasi BPF
(log spk g-1 Tanah)
Semak
8,11 a
Jeruk
8,26 b
Cabai
8,45 d
Karet
8,37 c
Akasia
8,34 c
BNT0,05
0,06
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata menurut uji BNT dengan taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 3, hasil uji beda terhadap populasi BPF, dapat dilihat bahwa  tanah yang dibudidayakan dengan tanaman karet dan akasia dihuni oleh populasi bakteri yang tidak beda nyata. Hal ini diduga karena kedua lahan sama-sama ditanami tanaman tahunan sehingga kandungan bakteri pada kedua lahan tidak beda nyata.
Jumlah populasi BPF pada lahan semak lebih rendah dibandingkan lahan jeruk, cabe, karet, dan akasia. Hal ini disebabkan karena lahan semak merupakan lahan tidur yang masih alami belum ada pengolahan tanah dan pemupukan. Sedangkan pada lahan yang dibudidayakan jeruk, cabe, karet dan akasia merupakan lahan yang telah banyak mengalami perlakuan baik pengolahan tanah maupun pemupukan.
Selain itu pada tanah yang dibudidayakan tanaman jeruk, jumlah populasi BPF juga berbeda nyata terhadap tanah yang dibudidayakan tanaman cabe, karet, maupun akasia hal ini disebabkan karena pada lahan jeruk merupakan lahan yang baru dibuka sebagai lahan pertanian, sehingga belum terlalu banyak mengalami pengolahan tanah maupun pemupukan dibandingkan dengan tanah yang dibudidayakan tanaman cabe, karet dan akasia, yang telah lama digunakan sebagai lahan pertanian maupun perkebunan sehingga telah banyak mengalami pengolahan tanah maupun pemupukan. 
Jumlah populasi BPF pada tanah yang dibudidayakan tanaman cabe berbeda nyata juga terhadap tanah yang dibudidayakan tanaman karet dan akasia, hal ini diduga disebabkan karena tanaman cabe merupakan tanaman musiman sedangkan tanaman karet dan akasia merupakan jenis tanaman tahunan. Hal  ini sejalan dengan pendapat Hakim et al., (1986), bahwa vegetasi penutup tanah mempengaruhi kadar bahan organik tanah dan populasi mikroba tanah, vegetasi hutan akan berbeda dengan padang rumput dan tanah pertanian, faktor-faktor ini saling berkaitan, sehingga sukar menilainya sendiri.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perbedaan komoditas tanaman lahan rawa lebak berpengaruh terhadap jumlah populasi BPF, hal ini dapat dilihat dari jumlah populasi antara tanaman semak dan tanaman cabe. Tanah yang dibudidayakan tanaman cabe memiliki jumlah populasi bakteri yang paling banyak, sebaliknya semak memiliki jumlah populasi yang paling sedikit. Hal ini diduga karena pada tanah yang dibudidayakan dengan tanaman cabe telah banyak mengalami perlakuan seperti penambahan pupuk organik sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan aktivitas bakteri tanah. Hal ini sejalan dengan penelitian Hanafiah (2005), yang menyatakan bahwa populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup ditambah temperatur yang sesuai, ketersediaan air cukup, dan kondisi ekologi yang lain mendukung.
Secara umum, pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Mikroorganisme tanah saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik karena bahan organik menyediakan karbon sebagai sumber energi untuk tumbuh (Narang, 2008).

D. Populasi Spora Mikoriza Arbuskular (MA)
Berdasarkan hasil analisis ragam, perbedaan tipe pemanfaatan lahan berpengaruh nyata terhadap jumlah spora MA. Jumlah spora MA  yang paling banyak ditemukan pada tanah yang dibudidayakan dengan tanaman karet, sedangkan paling rendah dijumpai pada semak dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah rata-rata Spora MA
Komoditas Tanaman
Populasi Mikoriza
(spora/gram)
Semak
109.78 a
Jeruk
  180,27 ab
Cabai
228,80 b
Karet
252,42 b
Akasia
 172,78 ab
BNT0,05
84,86
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata  menurut uji BNT dengan taraf 5%.

Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa, jumlah rata-rata spora MA pada tanaman semak tidak berbeda nyata dengan lahan yang dibudidayakan tanaman jeruk dan akasia. Hal ini disebabkan karena lahan yang dibudidayakan dengan tanaman jeruk belum lama digunakan sebagai lahan pertanian dan lahan tersebut belum banyak diberi perlakuan sehingga kandungan yang terdapat pada lahan tersebut tidak berbeda nyata terhadap lahan awal sebelum di buka yaitu berupa semak belukar. Sedangkan pada lahan akasia merupakan lahan yang hanya mengalami pengolahan pada saat awal tanam dan dibiarkan tumbuh secara alami, hal inilah diduga yang menyebabkan akasia tidak berbeda nyata terhadap lahan semak.
Jumlah rata-rata spora MA pada lahan semak berbeda nyata terhadap lahan yang dibudidayakan dengan tanaman cabe dan karet, hal ini diduga karena pada lahan cabe dan karet telah mengalami pengolahan tanah, pemupukan dan pemberian bahan organik sehingga dapat menunjang pertumbuhan populasi MA di dalam tanah, hal ini sesuai dengan pendapat Zarate dan de la Cruz (1995), bahwa praktik pertanian seperti pengolahan tanah, ameliorasi bahan organik, pemupukan, dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan MA. Sedangkan pada lahan semak merupakan lahan tidur tanpa adanya pengolahan dan pemupukan.
Jumlah rata-rata spora MA pada lahan yang dibudidayakan dengan tanaman cabe dan karet tidak berbeda nyata dengan lahan yang dibudidayakan dengan tanaman jeruk dan akasia, hal ini diduga karena pada lahan jeruk telah mengalami pengolahan tanah, pemupukan dan pemberian bahan organik sehingga tidak berbeda nyata dengan lahan yang dibudidayakan tanaman cabe dan karet, dimana kedua lahan tersebut mengalami pengolahan tanah, pemupukan dan penambahan bahan organik, sedangkan untuk lahan akasia diduga karena penggunaan  lahan akasia yang sudah lama, banyak terjadi penambahan bahan organik secara alami oleh pelapukan serasa dari tanaman itu sendiri, sehingga lahan akasia tidak berbeda nyata dengan lahan cabe dan karet.
Penggunaan MA tidak mencemari lingkungan, bahkan dalam jangka panjang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, serta berguna sebagai bioremediasi lingkungan. MA berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu membuat tanah menjadi gembur. sedangkan dalam memperbaiki sifat kimia tanah, MA dapat meningkatkan penyerapan P, dari bentuk P sukar larut atau P yang tidak tersedia bagi tanaman sehingga menjadi P tersedia bagi tanaman (Mosse, 1973). MA berpotensi untuk dikembangkan, karena ketersediaannya di alam cukup banyak, serta perbanyakan dan aplikasinya di lapangan sangat mudah dilakukan oleh petani tanpa perlu tanaman inang dan perlakuan yang khusus.


E. Hubungan Populasi Bakteri Pelarut Fosfat dengan Beberapa Sifat Kimia Tanah

            Pada penelitian ini, bentuk dan keeratan hubungan atara beberapa sifat kimia tanah yang berupa pH, C-organik, N-total, dan P-tersedia dengan populasi BPF diuji dengan regresi berganda dan korelasi.
Berdasarkan dari hasil analisis regresi berganda dan korelasi menunjukkan adanya pengaruh yang tidak nyata antara bakteri tanah dengan beberapa sifat kimia tanah. Nilai koefisien determinan (R2) antara beberapa sifat kimia tanah dengan beberapa populasi BPF adalah 0,188 yang berarti secara umum sebesar 18,8% populasi di pengaruhi oleh pH, C-organik, N-total, dan P-tersedia dan 81,2% dipengaruhi oleh faktor lain. Menurut Rao (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi populasi bakteri di dalam tanah selain pH, C, N, dan P antara lain tekstur, kandungan air, pengolahan tanah, pemupukan dan pestisida.
Koefisien regresi populasi bakteri dengan beberapa sifat kimia tanah menunjukkan hubungan positif antara bahan organik dan P-tersedia dengan populasi BPF dan hubungan negatif antara pH dan N-total dengan populasi BPF. Hubungan positif ini diartikan peningkatan bahan organik dan P-tersedia diikuti oleh peningkatan bakteri tanah sedangkan penurunan pH dan N-total diikuti oleh peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah.
Bentuk hubungan ditunjukkan dari persamaan regresi sebagai berikut:
Y = 8,221 – 0,005 X1+ 0,031X2 – 0,199 X3 + 0,003X4
Keterangan:     Y         : Log populasi bakteri                    
                        X1        : pH                                                 
                        X2          : C-Organik
                        X3          :  N-total
                        X4          : P-tersedia

F.  Hubungan Populasi Mikoriza Arbuskular dengan Beberapa Sifat Kimia     Tanah.

            Pada penelitian ini, bentuk dan keeratan hubungan atara beberapa sifat kimia tanah yang berupa pH, C-organik, N-total, dan P-tersedia dengan jumlah spora MA diuji dengan regresi berganda dan korelasi.
Berdasarkan dari hasil analisis regresi berganda dan korelasi menunjukkan adanya pengaruh yang tidak nyata antara spora MA dengan beberapa sifat kimia tanah. Nilai koefisien determinan (R2) antara beberapa sifat kimia tanah dengan beberapa populasi spora MA ialah 0,252 yang berarti secara umum sebesar 25,2% populasi dipengaruhi oleh pH, C-organik, N-total, dan P-tersedia dan 74,8% dipengaruhi oleh faktor lain. Menurut Miller dan Lodge (1997), beberapa faktor lain yang diindikasikan mempengaruhi fungi antara lain degradasi tanah, kelembapan tanah, residu pestisida dan pupuk anorganik.
Koefisien regresi spora MA dengan beberapa sifat kimia tanah menunjukkan hubungan positif antara N-total dan P-tersedia dengan populasi spora MA dan hubungan negatif antara pH dan C-organik dengan populasi spora MA. Hubungan positif ini diartikan peningkatan N-total dan P-tersedia diikuti oleh peningkatan populasi spora MA sedangkan penurunan pH dan C-organik diikuti oleh peningkatan aktivitas spora MA.
Bentuk hubungan ditunjukkan dari persamaan regresi sebagai berikut:
Y = 254,447 – 14,062 X1 – 206,279X2 + 2185,793 X3 + 0,319X4
Keterangan:     Y         : Populasi spora mikoriza                     
                        X1        : pH                                                
                        X2          : C-Organik
                        X3          :  N-total
                        X4          : P-tersedia


KESIMPULAN DAN SARAN
 
A. Kesimpulan
1.    Populasi bakteri pelarut fosfat (BPF) tertinggi dijumpai pada lahan yang di budidayakan dengan tanaman cabai sedangkan populasi mikoriza arbuskular (MA) tertinggi di jumpai pada lahan yang dibudidayakan tanaman karet.
2.    Populasi BPF dan populasi spora MA diberbagai pemanfaatan lahan berkolerasi tidak nyata terhadap nilai pH, kandungan C-organik, N-total, dan P-tersedia.
.
B. Saran
            Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan tentang hubungan antara sifat-sifat kimia tanah selain pH, C-organik, N-total, dan P-tersedia yang berpengaruh terhadap populasi BPF dan MA pada tanah lebak yang diusahakan dengan berbagai komoditas tanaman.

DAFTAR PUSTAKA
Anas I dan D. A. Santosa, 1992. Cendawan Mikoriza arbuskular. Bioteknologi Pertanian. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB, Bogor.

Armanto, M. E., M. S. Imanudin., dan I. Naning. 1998. Evaluasi Dampak Reklamasi Rawa Lebak Terhadap Kemerosotan Produksi Padi di Kabupaten OKI. Seminar Workshop Proceeding on Setting the Action Plants for Revitalization of the South Sumatera Province. Indralaya, 26-27 Okteber 1998.

Aryantha, N. R. Nganro., Sukrasno, dan  E. Nandina. 2002, Development of  ustainable Agricultural System, One Day Discussion on The Minimization of Fertilizer Usage, Menristek-BPPT, 6th May 2002, Jakarta.

Buckman, and N.C. Brady. 1982. The Nature and Properties of soil (terjemahan Soegiman, Ilmu Tanah). Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Coyne, M. C. 1999. Soil Microbiologi an Exploratotory Approach. Delmar Publisher. ITP.
.
Djafar, Z. R. 1992. Potensi Lahan Lebak Untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Prosiding Sminar Nasional.184-185.

Fabig, B., K. Vielhauer, A. M. Moawad, and W. Achtnich. 1989. Gas chromatographic separation of organic acids and  electrophoretic determination of phosphatases  from VA mycorrhizal roots.  Z. Pfanzenernahs Bodenk. 152, 261265.

Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growth by free living bacteria. Canadian Journal Microbiology. 41: 109-117.

Gupta, R., R. Singal, A. Shankar, R. C. Kuhad, and R. K. Saxena. 1986. A modified plate assay for screening phosphate solubilizing microorganism. Departement of microbiology, University of Delhi South Campus, India.

Hadi. 2001. Mikroba Dan Kesuburan Tanah. Bioteknologi Pertanian. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB, Bogor.

Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, G.B. Hong, dan  H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Hanafiah, K. A. 1992. Intervensi dan Adaptasi Budidaya Dalam Ameliorasi Lahan Rawa untuk Pertanian. Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang.
Hanafiah K. A., A. Napoleon, N. Gofar, dan A. Iswandi. 2003. Biologi Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang.

Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.

Hasanudin dan M. B. Gonggo. 2004. Pemanfaatan Mikrobia Pelarut Fosfat dan MIkoriza Untuk perbaikan Fosfor Tersedia, Serapan Fosfor Tanah (Ultisol) dan Hasil Jagung (Pada Ultisol), Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 6(1): 8-13.

Husin, E.F. 1994. Mikoriza. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang.

Isroi. 2002. Bioteknologi Mikroba untuk Pertanian Organik.http://www.kompas.com. Diakses tanggal 14-10-2009.

Martin. H. E. 2007. Hubungan Antara Komunitas Mikroba dengan Kandungan C, N, dan P pada Tanah Rawa Lebak Kabupaten Ogan Ilir. Skripsi pada Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya (tidak dipublikasikan).

Musnamar, E. I. 2003. Pupuk Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mosse, B. 1973. Advances in the study of vesicular arbuscular mycorrhiza. Ann. Rev. Phytopathol., 11, 171-196.

Miller, R.M., and D.J. Lodge. 1997. Fungal Responses To Disturbance Agriculture And Forestry. In The Mycota, Vol. IV. Environmental and Microbial Relationships, ed. D. T. Wicklow & B. Soderstrom. Berlin: Springer-Verlag, p. 65-84.

Najiyati, S., A. Asmana, dan I.N.N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.


Noor, M. 2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Rahim, S. E. 1992. Beberapa Catatan Tentang Pemanfaatan Rawa Lebak Berdasarkan Potensi dan Kendalanya. dalam Deroes K.M (Ed). Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa Untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. 170-171. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang.

Rao, N. S. S. 1982. Advances in Agricultural Microbiology. Bombay: Oxford and IBH Publishing Co.
Rao, N. S. S.1994. Mikroorganisma Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit UI.

Ricards, B. N. 1987. The Microbiology of Teresterial Ecosystem. Jhon Wiley and Sons, New York.

Saraswati, R. 1999. Teknologi Pupuk Mikroba Multiguna Menunjang Keberlanjutan Sistem Produksi Kedelai. Jurnal Mikrobiologi Indonesia. 4 (1): 1-9.

Sastrahidayat, I. R, K., Wakidah, dan Syekhfani. 1998. Pengaruh Mikoriza Vesikula Arbuskular Terhadap Peningkatan Enzim Fosfatase, Berberapa Asam Organik dan Pertumbuhan Kapas (Gossypium hirsitum L.) Pada Vertisol dan Alfisol. J. Agrivita 21 (1): 21-23.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sieverding, E. 1991. Vesicular arbuscular mycorrhiza: Management in tropical agrosystems. Germany, GTZ Gmbh.

Subiksa, I. G. M. 2002. Pemanfaatan Mikoriza untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). IPB. Bogor.

Sudana, W. 2005. Pemanfaatan Mikrobia Pelarut Fosfat dan Mikoriza untuk Perbaikan Fosfor Tersedia, Serapan Fosfor Tanah Ultisol dan Hasil Jagung pada Ultisol. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 6 (8): 8-13.

Suparyono, A. 1993. Padi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suwarno,  Z. Harahap, dan A. Prawirosamudro. 1990. Perbaikan Varietas Tanaman Pangan Untuk Menunjang Usahatani Lahan Pasang Surut dan Lahan Rawa (penyuting Syam et al.). Badan Litbang Pertanian. Hal. 213-222.

Santosa, D. A. 2001. Rapid extraction and Purification of Evironmental DNA for Molecular Cloning Aplication and Molecular Diversity Study. Mol. Biotech. 17: 59-63.

Stoate, C., N. D. Boatman, R. J. Borralho, C. R. Carvalho, G. R. Desnoo, and P. Eden. 2001. Ecological impacts of arable intensification in Europe. J Environ Manage, 63(4):337-65.

Syarkowi, F., S. E. Rahim, Dan Z. Hanafiah. 1991. Ekologi Rawa Lebak Sumatera Selatan. Makalah Utama Pada Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian Dan Pelestarian Swasembada Pangan. 23-24 Oktober 1991. Palembang.
Tarafdar, J.C. and H. Marschner. 1994. Phosphatase activity in the rhizosphere and hiphosphere of VA mycorrhizal wheat supplied with inorganic and organic phosphorus. Soil Biol. Biochem. , 26, 387-395.

Pujiyanto. 2001. Pemanfaatan jasad mikro jamur mikoriza dan bakteri dalam sistem pertanian berkelanjutan di indonesia : tinjauan dari perspektif falsafah sains. Pasca Serjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Widawati, S. S. 2005. Populasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) di Cikaniki, Gunung Botol, dan Ciptarasa, serta Kemampuannya Melarutkan P Terikat di Media Pikovskaya Padat. Biodeversitas. 7(2) : 109-113.

Widyati, E. 2007. Formulasi Inokulum Mikroba: MA, BPF dan Rhizobium Asal Lahan Bekas Tambang Batubara untuk Bibit Acacia Crassicarpa Cunn. Ex-Benth. Biodeversitas. 8(3) : 238-241.

Wikipedia. 2006. Pembagian Mikoriza . http://www.wikipedia.org/wiki/mikoriza . Diakses tanggal 14-10-2009.

Zarate, J. T. and R. E. D. Cruz. 1995. Pilot testing the effectiveness of arbuscular mycorrhizal fungi in the reforestation of marginal grassland. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae.







Add caption





Add caption


1 komentar:

  1. kak< ada referensi ga mikroba pelarut fosfat dalam air limbah?

    BalasHapus